Senin, 02 April 2012

EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN



 



PASCA SARJANA UHAMKA
MAGISTER ADMINISTRASI PENDIDIKAN
JAKARTA 2011



BAB I
PENDAHULUAN
Mutu pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor siswa, pengelola sekolah ( Kepala Sekolah, Karyawan, dan Dewan / Komite Sekolah ), Lingkungan ( orang tua, Masyarakat, Sekolah ), Kualitas Pembelajaran, Kurikulum dan sebagainya. ( Edy Suhartoyo, 2005:2 ), Hal senada juga disampaikan oleh Djemari Mardapi   ( 2003: 8 ) bahwa “ Usaha peningkatan kualitas pendidikan dapat ditempuh melalui peningkatan kualitas pembelajaran dan kualitas sistem penilaian . Keduanya saling terkait sistem pembelajaran yang baik, akan menghasilkan kualitas belajar yang baik. Selanjutnya sistem penilaian yang baik akan mendorong guru untuk menentukan strategi mengajar yang baik ”
Dengan demikian salah satu faktor yang penting untuk mencapai tujuan pendidikan adalah proses pembelajaran yang dilakukan , sedangkan salah satu faktor yang penting untuk efektifitas pembelajaran adalah faktor evaluasi baik terhadap proses maupun hasil pembelajaran.                                               
Evaluasi merupakan komponen yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan sistem evaluasi yang baik maka kualitas pembelajaran diharapkan akan meningkat. Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran tersebut, evaluasi sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan semua ranah yang dimiliki peserta didik.
Namun, evaluasi pendidikan yang dilaksanakan selama ini dirasakan belum memberikan distribusi yang cukup untuk peningkatan kualitas pendidikan. Hal ini disebabkan oleh sistem evaluasi yang digunakan belum tepat atau pelaksanaan evaluasi belum seperti yang diharapkan, oleh karena itu perlu dilakukan inovasi terhadap sistem evaluasi pendidikan ke arah yang lebih baik, agar dapat mengukur semua kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik tanpa hanya mengukur ranah kognitifnya saja.
Dengan sistem evaluasi yang baik maka akan mendorong pendidik untuk menentukan strategi mengajar yang baik sehingga dapat memotivasi peserta didik untuk belajar yang lebih baik dengan tujuan akhir meningkatnya kualitas pendidikan di Indonesia pada umumnya, seperti yang diamanahkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan tujuan pendidikan nasional.
BAB II
KOMPONEN EVALUASI PENDIDIKAN
1. PENGERTIAN PROGRAM
Ada dua pengertian untuk istilah “program”, yaitu pengertian secara khusus dan umum. Menurut pengertian secara umum, “program” dapat diartikan sebagai”rencana”. Rencana ini mungkin berupa keinginan untuk melanjutkan kependidikan yang lebih tinggi, mencari pekerjaan, membantu orang tua dalam membina usaha, atau mungkin juga belum menentukan program apapun. Pengertian umum lainnya tentang definisi “program” adalah suatu unit atau kesatuan kegiatan. Berdasarkan pengertian itu maka program merupakan sebuah sistem, yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan tidak hanya satu kali tetapi berkesinambungan.
Sedangkan secara khususnya, apabila “program” ini langsung dikaitkan dengan evaluasi program maka program didefinisikan sebagai suatu unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang.
Ada tiga tiga pengertian penting dan perlu ditekankan dalam menentukan program, yaitu:
  1. Realisasi atau implementasi suatu kebijakan
  2. Terjadi dalam waktu yang relatif lama-bukan kegiatan tunggal tetapi jamak  berkesinambungan
3. Terjadi dalam organisasi yang melibatkan sekelompok orang
Dalam kehidupan terdapat juga program yang berlangsung hanya dalam waktu singkat, misalnya program peringatan Hari Pahlawan. Upacara peringatan ini dapat diklasifikasikan sebagai program karena mengandung beberapa komponen dan dirancang melalui serangkaian rapat, tetapi pelaksanannya hanya sebentar.
Selain mengandung tiga pengertian di atas, ada pula program-program tertentu yang menunjukkan ciri-ciri lain, yaitu adanya kegiatan jamak yang merupakan rangkaian. Sebagai contoh adalah kegiatan pembelajaran. Pembelajaran adalah kegiatan jamak karena melalui urutan dari penyusunan kurikulum di pusat, pembuatan Analisis Materi Pembelajaran (AMP), pembuatan rencana mengajar, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, yaitu pembelajaran dan evaluasi prestasi belajar. Di dalam rangkaian proses tersebut, kegiatan awal yang mendahului merupakan faktor penentu keberhasilan kegiatan berikutnya.
2. EVALUASI PROGRAM
Dalam evaluasi pendidikan, ada empat komponen yang saling terkait dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Penjelasan dari keempat komponen tersebut yaitu sebagai berikut :
A. Evaluasi
Dalam mendefinisikan evaluasi, para ahli memiliki sudut pandang yang berbeda sesuai dengan bidang keahlian masing-masing. Namun inti dari semua definisi menuju ke satu titik, yaitu proses penetapan keputusan tentang sesuatu objek yang dievaluasi.
Dalam konteks pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan hasil kerja siswa, Nitko dan Brookhart (2007) mendefinisikan Evaluasi sebagai suatu proses penetapan nilai yang berkaitan dengan kinerja dan hasil karya siswa. Fokus evaluasi dalam konteks ini adalah individu, yaitu prestasi belajar yang dicapai kelompok siswa atau kelas. Konsekuensi logis dari pandangan ini, mengharuskan evaluator untuk mengetahui betul tentang tujuan yang ingin dievaluasi. Beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai objek evaluasi yaitu prestasi belajar, perilaku, motivasi, motivasi diri, minat, dan tanggung jawab.
Dalam konteks lembaga evaluasi merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam meningkatkan kualitas, kinerja atau produktivitas suatu lembaga dalam melaksanakan programnya (Mardapi,2004). Hal yang hampir sama dikemukakan oleh Stuffelbeam dan Shinkfield (2007), yang mengatakan bahwa evaluasi merupakan proses memperoleh, menyajikan, dan menggambarkan informasi yang berguna untuk menilai suatu alternatif pengambilan keputusan tentang suatu program.
Selanjutnya, Ebel (1986) berpendapat bahwa evaluasi merupakan suatu kebutuhan dimana evaluasi harus memberikan suatu keputusan tentang informasi apa saja yang dibutuhkan, bagaimana informasi tersebut dikumpulkan, serta bagaimana informasi tersebut disintesiskan untuk mendukung hasil yang diharapkan.
Kirkpatrick (1998), menyarankan tiga komponen yang harus dievaluasi dalam pembelajaran yaitu pengetahuan yang dipelajari, ketrampilan apa yang dikembangkan, dan sikap apa yang perlu diubah. Untuk mengevaluasi komponen pengetahuan dan atau perubahan sikap, dapat digunakan paper-and-pencil tast (tes tertulis) sebagai alat ukurnya. Evaluasi program untuk meningkatkan ketrampilan siswa dapat digunakan tes kinerja sebagai alat ukurnya.
Menurut Astin (1993) ada tiga komponen yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yaitu masukan, lingkungan sekolah, dan keluarannya. Artinya tidak hanya ranah kognitif saja yang diukur.
Ditinjau dari cakupannya, evaluasi ada yang bersifat makro yaitu menggunakan sampel dalam menelaah suatu program dan dampaknya, yang sasarannya adalah program pendidikan. Kemudian evaluasi yang bersifat mikro yang sasarannya adalah program pembelajaran di kelas dan yang menjadi penanggungjawabnya adalah tenaga pendidik.
Evaluasi pengajaran dapat dikategorikan menjadi dua yaitu formatif dan sumatif. Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir pembahasan suatu pokok bahasan/topik yang tujuannya untuk memperbaiki proses belajar-mengajar. Sedangkan evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir satu satuan waktu yang di dalamnya tercakup lebih dari satu pokok bahasan, yang tujuannya untuk menetapkan tingkat keberhasilan peserta didik dalam kurun waktu tertentu yang ditandai dengan perolehan nilai peserta didik dengan ketetapan lulus atau belum.
Evaluasi dilaksanakan untuk mencapai berbagai tujuan sesuai dengan obyek evaluasinya. Tujuan melaksanakan evaluasi antara lain adalah :
1. Mengukur pengaruh program terhadap masyarakat
2.  Menilai apakah program telah dilaksanakan sesuai dengan rencana
3. Mengukur apakah pelaksanaan program sesuai dengan standar
            4. Evaluasi program dapat mengidentifikasi dan menemukan mana dimensi program
    yang jalan, mana yang tidak berjalan.
5. Pengembangan staf program
6. Memenuhi ketentuan Undang-undang
7. Akreditasi program
8. Mengukur cost effectiveness dan cost- efficiency
9. Mengambil keputusanmengenai program
10. Accountabilitas
11. Memberikan balikkan kepada pimpinan dan staf program
12. Memperkuat posisi politik
13. Mengembangkan teori ilmu evaluasi atau risset evaluasi
B. Penilaian
Penilaian merupakan komponen penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan dapat ditempuh melalui peningkatan kualitas pembelajaran dan kualitas penilaiannya. Penilaian didefinisikan sebagai proses pengumpulan informasi tentang kinerja siswa, untuk digunakan sebagai dasar dalam membuat keputusan (Weeden, Winter, dan Broadfoot: 2002; Bott: 1996; Nitko: 1996; Mardapi: 2004). Selanjutnya Black dan William (1998) mendefinisikan penilaian sebagai semua aktivitas yang dilakukan oleh guru dan siswa untuk menilai diri mereka sendiri, yang memberikan informasi untuk digunakan sebagai umpan balik untuk memodifikasi aktivitas balajar dan mengajar.
Penilaian berdasarkan definisi diatas member penekanan pada usaha yang dilakukan guru maupun siswa untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan pembelajaran yang mereka lakukan yang dapat dijadikan sebagai umpan balik untuk melakukan perubahan aktivitas bealajar mengajar yang lebih baik dari sebelumnya.
Tujuan penilaian:
1. Membantu belajar siswa
2. Mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan siswa
3. Menilai efektifitas strategi pengajaran
4. Menilai dan meningkatkan efektifitas program kurikulum
5. Menilai dan meningkatkan efektifitas pengajaran
6. Menyediakan data yang membantu dalam membuat keputusan
7. Komunikasi dan melibatkan orang tua siswa
Kegiatan penilaian dalam proses pembelajaran harus diarahkan pada 4 hal:
1. Penelusuran, untuk menelusuri kesesuaian proses pembelajaran dengan yang direncanakan.
2. Pengecekan, untuk mencari informasi tentang kekurangan-kekurangan pada peserta didik selama pembelajaran.
3. Pencarian, untuk mencari penyebab kekurangan yang muncul selama proses pembelajaran.
4. Penyimpulan, untuk menyimpulkan tingkat pencapaian belajar yang telah dimiliki peserta didik.
C. Pengukuran
Pengukuran merupakan suatu proses pemberian angka kepada suatu atribut atau karakteristik tertentu yang dimiliki oleh orang, hal, atau obyek tertentu menurut aturan atau formulasi yang jelas. Berdasarkan pandangan tersebut, tampak bahwa semua kegiatan di dunia ini tidak bisa lepas dari pengukuran.
Pengukuran pada dasarnya merupakan kegiatan penentuan angka bagi suatu objek secara sistematik. Penentuan angka ini merupakan usaha untuk menggambarkan karakteristik suatu objek kemampuan seseorang dalam bidang tertentu dinyatakan dengan angka. Dalam menentukan karakteristik individu pengukuran yang dilakukan harus sedapat mungkin mnegandung kesalahan yang kecil (Mardapi,2004).
Kesahihan alat ukur bisa dilihat dari kisi-kisi alat ukur. Kisi-kisi ini berisi tentang materi yang diujikan, bentuk soal, tingkat berfikir yang terlibat, bobot soal dan cara penskoran.
Pokok bahasan yang diujikan harus berdasarkan Kriteria sebagai berikut :
1. Pokok bahasan yang esensial
2. Memiliki nilai aplikasi
3. Berkelanjutan
4. Dibutuhkan untuk mempelajari mata pelajaran lain.
D. Tes dan nontes
1. Tes
Tes merupakan sejumlah pertanyaan yang memiliki jawaban yang benar atau salah. Tes diartikan juga sebagai sejumlah pertanyaan yang membutuhkan jawaban, atau sejumlah pertanyaan yang harus diberikan tanggapan dengan tujuan mengukur tingkat kemampuan seseorang atau mengungkap aspek tertentu dari orang yang dikenai tes (testee).
2. Nontes
Nontes dapat digunakan untuk mengukur semua ranah yang dimiliki oleh masing-masing individu yang tentunya berbeda.
Adapun ranah yang diukur dengan menggunakan nontes ini adalah kognitif, psikomotorik, perseptual, komunikasi nondiskursip, dan ranah afektif.
Mardapi (2004), mengatakan bahwa dalam kaitan dengan afektif ada empat tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat, konsep diri, dan nilai.

MODEL-MODEL EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN

Dalam ilmu evaluasi program pendidikan, ada banyak model yang dipergunakan untuk mengevaluasi keterlaksanaan program. Meskipun antara satu dengan yang lain berbeda tetapi maksudnya sama yaitu melakukan kegiatan pengumpulan data atau informasi yang berkenaan dengan objek yang dievaluasi, yang tujuannya menyediakan bahan bagi pengambil keputusan dalam menentukan tindak lanjut suatu program.
Ada beberapa ahli evaluasi program yang dikenal sebagai penemu model evaluasi program, yaitu Stufflebeam, Metfessel, Michael Scriven, Tayler, Stake dan Glaser. Kaufman dan Thomas membedakan model evaluasi menjadi delapan, yaitu:
1)  Model Evaluasi Berbasis Tujuan ( Goal oriented evaluation model ) , dikembangkan oleh Tyler
2) Model Evaluasi Bebas Tujuan ( Goal Free Evaluation Model ), dikembangkan oleh Michael Scriven.
3) Model Evaluasi Formatif ( Formatif  Evaluation Model ), dikembangkan oleh Michael Scriven..
4) Model Evaluasi Sumatif  (  Summatif Evaluation Model ), dikembangkan oleh Michael Scriven..
5)  Model Evaluasi Responsif ( Responsive Evaluation Model), dikembangkan oleh Stake.)
6) Model Evaluasi Context, Input, Process,dan Product( CIPP Evaluation Model), dikembangkan oleh Stufflebeam.
7)  Model Evaluasi Adversari ( Adversary Evaluation Model )l dikembangkan oleh T.R Owen
8) Model Evaluasi Ketimpangan ( Discrepancy Evolution Model ) dikembangkan oleh Malcom M. Provus ( 1971 )
9)  Model Evaluasi Sistem Analisis ( Analisis Evaluation Model )
10) Model Evaluasi Benchmarking ( Bangku Ular )
11) Model Evaluasi Kotak Hitam ( Black Box Evaluation Model )
12) Model Evaluasi Konosursip dan Kritikisme ( Connoissership and Critic Evoluation         Model)
      dikemukakan E.W Eisner ( 1975 )
13) Model Evaluasi Terfokus Utilisasi ( Utilization-focused evoluation ) dikembangkan oleh
       Michael Quinn (1997; 2022 )
14) Akreditasi
15) Theory-driven Evoluation Model ( Theory-driven-evoluation ) dipelopori oleh
       Peter Rossi,Huey Tsyh Chen
16) Model Evaluasi Semu
Penjelasan dari masing-masing model evaluasi tersebut diatas adalahs ebagai berikut:
1. Goal Oriented Evaluation Model (dikembangkan oleh Tyler)
Model ini merupakan model yang muncul paling awal. Yang menjadi obyek pada model ini adalah tujuan dari program yang sudah ditetapkan jauh sebelum program dimulai. Evaluasi ini dilakukan secara berkelanjutan, terus-menerus, men-cek sejauh mana tujuan tersebut sudah terlaksana dalam proses pelaksanaan program.
Secara umum model evaluasi ini memberikan penekanan terhadap produktivitas dan akuntability dalam suatu aktifitas. Model ini juga sering dipergunakan untuk mengukur pencapaian dan kemajuan peserta didik. Model ini menepikan dimensi proses dalam pelaksanaan evaluasi. Model ini sering mengutarakan pertanyaan seperti apakah peserta didik dapat mencapai suatu sasaran dengan baik?, apakah para dosen dapat menjalankan pekerjaanya dengan baik?
Untuk membentuk ujian pencapaian, Tyler, menggariskan beberapa prosedur yang perlu diikuti, yaitu:
a) Mengenal pasti sasaran program yang hendak dijalankan.
b) Menguraikan setiap tujuan dalam bentuk tingkah laku dan isi kandungan.
c) Mengenal pasti situasi dimana tujuan yang hendak digunakan.
d) Menentukan arah untuk mewakili situasi
e) Menentukan arah untuk mendapatkan hasil.
Tyler mendefinisikan evaluasi sebagai perbandingan antara hasil yang dikehendaki dengan hasil yang sebenarnya. Pendekatan Tyler memberikan dasar pada pengukuran tingkah laku dalam suatu tujuan yang dibentuk dan mendasarkan kepada hasil pembelajaran dari input pengajaran. Tyler telah membuat beberapa perubahan dalam konsepnya mengenai penilaian. Perubahan ini dikembangkan dalam definisi penilaiannya awal yaitu penilaian dalam program yang dibuat dengan membandingkan konsep program dengan dasar yang relevan untuk memantapkan perencanaan program. Termasuk didalamnya:
a) Penilaian di tingkat implementasi
b) Penilaian dalam monitoring yang berkelanjutan dalam suatu program.
Menurut Tyler (1951 dalam Azizi, 2008), penilai harus menilai tingkah laku peserta didik, pada perubahan tingkah laku yang dikehendaki dalam pendidikan. Selain itu evaluasi mesti dibuat pada akhir program.
Dalam model ini, langkah pertama adalah mengenali tujuan suatu program. Setelah tujuan program diketahui, indikator-indikator pencapaian tujuan dan alat pengukuran diketahui pasti. Hasil kajian akan dibandingkan dengan tujuan program dan keputusan dibuat level pencapaian yang diperoleh. Menurut Tyler, apabila tujuan program tidak tercapai sepenuhnya, ini membawa implikasi sama bahwa program pembelajaran lemah atau juga bahwa tujuan yang dipilih tidak sesuai.

2. Goal Free Evaluation Model (dikembangkan oleh Michael Scriven).
Model evaluasi yang dikembangkan oleh Michael Scriven tahun 1972 ini dapat dikatakan berlawanan dengan model pertama yang dikembangkan oleh Tyler. Jika dalam model yang dikembangkan oleh Tyler, evaluator terus-menerus memantau tujuan, yaitu sejak awal proses terus melihat sejauh mana tujuan tersebut sudah dapat dicapai, dalam model goal free evaluation (evaluasi lepas dari tujuan) justru menoleh dari tujuan.
Menurut Michael Scriven, dalam melaksanakan evaluasi program evaluator tidak perlu memperhatikan apa yang menjadi tujuan program. Yang perlu diperhatikan dalam program tersebut adalah bagaimana kerjanya program, dengan jalan mengidentifikasi penampilan-penampilan yang terjadi, baik hal-hal yang positif (yaitu hal yang diharapkan) maupun hal-hal negatif (yang sebetulnya memang tidak diharapkan).
Alasan mengapa tujuan program tidak perlu diperhatikan karena ada kemungkinan evaluator terlalu rinci mengamati tiap-tiap tujuan khusus. Jika masing-masing tujuan khusus tercapai, artinya terpenuhi dalam penampilan, tetapi evaluator lupa memperhatikan sejauh mana masing-masing penampilan tersebut mendukung penampilan akhir yang diharapkan oleh tujuan umum maka akibatnya jumlah penampilan khusus ini tidak banyak manfaatnya.
Dari uraian ini jelaslah bahwa yang dimaksud dengan "evaluasi lepas dari tujuan" dalam model ini bukannya lepas sama sekali dari tujuan tetapi hanya lepas dari tujuan khusus. Model ini hanya mempertimbangkan tujuan umum yang akan dicapai oleh program, bukan secara rinci per komponen.
3. Formatif  Evaluation Model (dikembangkan oleh Michael Scriven)
Selain model "evaluasi lepas dari tujuan", Michael Scriven juga mengembangan model lain, yaitu model formatif-sumatif. Model ini menunjuk adanya tahapan dan lingkup objek yang dievaluasi, yaitu evaluasi yang dilakukan pada waktu program masih berjalan (disebut evaluasi formatif) dan ketika program sudah selesai atau berakhir (disebut evaluasi sumatif).
Berbeda dengan model yang pertama dikembangkan, model yang kedua ini ketika melaksanakan evaluasi, evaluator tidak dapat melepaskan diri dari tujuan. Tujuan evaluasi formatif memang berbeda dengan tujuan evaluasi sumatif. Sehingga, model yang dikemukakan oleh Michael Scriven ini menunjuk tentang "apa, kapan, dan tujuan" evaluasi tersebut dilaksanakan.
Para evaluator pendidikan, termasuk guru-guru yang mempunyai tugas evaluasi, tentu sudah mengenal dengan baik apa yang dimaksud dengan evaluasi formatif dan sumatif. Hampir setiap bulan guru-guru melaksanakan evaluasi formatif dalam bentuk ulangan harian. Evaluasi tersebut dilaksanakan untuk mengetahui sampai seberapa tinggi tingkat keberhasilan atau ketercapaian tujuan untuk masing-masing pokok bahasan. Oleh karena luas atau sempitnya materi yang tercakup di dalam pokok bahasan setiap mata pelajaran tidak sama maka tidak dapat ditentukan dengan pasti kapan evaluasi formatif dilaksanakan dan berapa kali untuk masing-masing mata pelajaran.
4. Formatif  Evaluation Model (dikembangkan oleh Michael Scriven)
Evaluasi formatif secara prinsip merupakan evaluasi yang dilaksanakan ketika program masih berlangsung atau ketika program masih dekat dengan permulaan kegiatan. Tujuan evaluasi formatif tersebut adalah mengetahui sejauh mana program yang dirancang dapat berlangsung, sekaligus mengidentifikasi hambatan. Dengan diketahuinya hambatan dan hal-hal yang menyebabkan program tidak lancar, pengambil keputusan secara dini dapat mengadakan perbaikan yang mendukung kelancaran pencapaian tujuan program.
Evaluasi sumatif dilakukan setelah program berakhir. Tujuan dari evaluasi sumatif adalah untuk mengukur ketercapaian program. Fungsi evaluasi sumatif dalam evaluasi program pembelajaran dimaksudkan sebagai sarana untuk mengetahui posisi atau kedudukan individu di dalam kelompoknya. Mengingat bahwa objek sasaran dan waktu pelaksanaan berbeda antara evaluasi formatif dan sumatif maka lingkup sasaran yang dievaluasi juga berbeda.
5. Responsive Evaluation Model (dikembangkan oleh Stake).
Dalam model evaluasi ini Stake mendefinisikan evaluasi sebagai suatu nilai pengamatan dibandingkan dengan keahlian. Stakes (1967 dalam Azizi, 2008), telah menggariskan beberapa ciri pendekatan model evaluasi responsif, yaitu:
1) Lebih ke arah aktivitas program (proses) daripada tujuan program.
2) Mempunyai hubungan dengan banyak kalangan untuk mendapatkan hasil evaluasi.
3) Perbedaan nilai perspektif dari banyak individu menjadi ukuran dalam melaporkan kegagalan dan keberhasilan suatu program.
Pendekatan ini adalah sistem yang mengorbankan beberapa fakta dalam evaluasi dengan harapan dapat meningkatkan penggunaan hasil evaluasi kepada individu atau program itu sendiri. Kebanyakan evaluator lebih menekankan pada kenyataan, penggunaan ujian obyektif, menentukan standar program dan laporan penyelidikan. Evaluasi ini kurang memberikan pengaruh dalam komunikasi formal dibandingkan dengan komunikasi biasa.
Model ini berdasarkan pada apa yang biasa individu lakukan untuk menilai suatu perkara. Mereka akan memperhatikan dan kemudian akan bertindak. Untuk melaksanakan evaluasi ini, evaluator dipaksa bekerja lebih keras untuk memastikan individu yang dipilih memahami apa yang perlu dilakukan. Evaluator juga perlu membuat prosedur yang baku dan mencari serta mengatur tim untuk memperhatikan pelaksanaan program tersebut. Dengan bantuan tim, evaluator akan menyediakan catatan, deskripsi, hasil tujuan serta membuat grafik. Evaluator juga menilai kualitas dan record orang yang membantu evaluasi.
Terdapat empat tahap dalam model ini:
1. Pada awal pelaksanaan evaluasi, evaluator dan klien (stakeholder) membuat perundingan tentang kontrak mengenai tujuan penilaian, validitas dan jaminan kerahasiaan. Stakeholder disini adalah individu yang terlibat dalam evaluasi tersebut dan memiliki hak untuk memberikan ijin dan isu-isu yang berkaitan dengan proses evaluasi.
2. Mengenal pasti concern (perhatian), isu dan nilai-nilai dari stakeholder. Fakta-fakta diperoleh melalui temu duga dan soal selidik.
3. Tahap ketiga mengumpulkan informasi yang memiliki hubungan dengan tujuan, isu, nilai yang dikenal pasti oleh stakeholder. Evaluator juga bisa mendasarkan data dan informasi secara deskriptif tentang perkara yang dievaluasi dan standar yang digunakan untuk membuat pertimbangan.
4. Penyediaan laporan mengenai keputusan atau alternatif. Format kajian kasus sering digunakan untuk membuat laporan ini. Laporan ini mengandung beberapa isu-isu dan perhatian yang dikenal betul oleh stakeholder.
Tahun 1960-an dan awal 1970, model yang digunakan oleh Stake (1967) dan Stufflebeam (1968-1971) telah banyak mempengaruhi bidang evaluasi. Pengikut Stake, memfokuskan evaluasi pada hasil, dimana evaluasi tidak lagi mempertimbangkan sifat pendidikan yang kompleks dan dinamik.
6. Model Evaluasi Context, Input, Process,dan Product( CIPP Evaluation Model), dikembangkan oleh Stufflebeam.
Model ini bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti : karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri.
Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi.
Stufflebeam melihat tujuan evaluasi sebagai:
1. Penetapan dan penyediaan informasi yang bermanfaat untuk menilai keputusan alternatif;
2. Membantu audience untuk menilai dan mengembangkan manfaat program pendidikan atau obyek;
3. Membantu pengembangan kebijakan dan program.
Model evaluasi ini merupakan model yang paling banyak dikenal dan diterapkan oleh para evaluator. Model CIPP ini dikembangkan oleh Stufflebeam dan kawan-kawan (1967) di Ohio State University. CIPP yang merupakan sebuah singkatan dari huruf awal empat buah kata, yaitu
Context evaluation : evaluasi terhadap konteks
Input evaluation : evaluasi terhadap masukan
Process evaluation : evaluasi terhadap proses
Product evaluation : evaluasi terhadap hasil
Keempat kata yang disebutkan dalam singkatan CIPP tersebut merupakan sasaran evaluasi, yang tidak lain adalah komponen dari proses sebuah program kegiatan. Dengan kata lain, model CIPP adalah model evaluasi yang memandang program yang dievaluasi sebagai sebuah sistem.
untitled
Model Evaluasi CIPP
Aspect of evaluation
Type of decision
Kind of question answered
Context evaluation
Planning decisions
What should we do?
Input evaluation
Structuring decisions
How should we do it?
Process evaluation
Implementing decisions
Are we doing it as planned? And if not, why not?
Product evaluation
Recycling decisions
Did it work?
Sumber : The CIPP approach to evaluation (Bernadette Robinson, 2002)
Empat aspek Model Evaluasi CIPP (context, input, process and output) membantu pengambil keputusan untuk menjawab empat pertanyaan dasar mengenai;
1. Apa yang harus dilakukan (What should we do?); mengumpulkan dan menganalisa needs assessment data untuk menentukan tujuan, prioritas dan sasaran.
2. Bagaimana kita melaksanakannya (How should we do it?); sumber daya dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan dan mungkin meliputi identifikasi program eksternal dan material dalam mengumpulkan informasi
3. Apakah dikerjakan sesuai rencana (Are we doing it as planned?); Ini menyediakan pengambil-keputusan informasi tentang seberapa baik program diterapkan. Dengan secara terus-menerus monitoring program, pengambil-keputusan mempelajari seberapa baik pelaksanaan telah sesuai petunjuk dan rencana, konflik yang timbul, dukungan staff dan moral, kekuatan dan kelemahan material, dan permasalahan penganggaran.
4. Apakah berhasil (Did it work?); Dengan mengukur outcome dan membandingkannya pada hasil yang diharapkan, pengambil-keputusan menjadi lebih mampu memutuskan jika program harus dilanjutkan, dimodifikasi, atau dihentikan sama sekali.
Penjelasan atas masing-masing aspek dalam model evaluasi CIPP adalah sebagai berikut:
1) Evaluasi Konteks
Konteks disini diartikan yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan, seperti : kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.
Evaluasi Konteks menilai kebutuhan, permasalahan, aset, dan peluang untuk membantu pembuat keputusan menetapkan tujuan dan prioritas serta membantu stakeholder menilai tujuan, prioritas, dan hasil.
Menurut Sarah McCann dalam Arikunto (2004) evaluasi konteks meliputi penggambaran latar belakang program yang dievaluasi, memberikan tujuan program dan analisis kebutuhan dari suatu sistem, menentukan sasaran program, dan menentukan sejauhmana tawaran ini cukup responsif terhadap kebutuhan yang sudah diidentifikasi. Penilaian konteks dilakukan untuk menjawab pertanyaan “Apakah tujuan yang ingin dicapai, yang telah dirumuskan dalam program benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat?”
Konteks evaluasi ini membantu merencanakan keputusan, menentukan kebutuhan yang akan dicapai oleh program, dan merumuskan tujuan program.
Evaluasi konteks adalah upaya untuk menggambarkan dan merinci lingkungan, kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani, dan tujuan proyek.
2) Evaluasi Masukan (Input)
Tahap kedua dari model CIPP adalah evaluasi masukan. Tujuan utama evaluasi ini adalah untuk mengaitkan tujuan, konteks, input, proses dengan hasil program. Evaluasi ini juga untuk menentukan kesesuaian lingkungan dalam membantu pencapaian tujuan dan objectif program. Disamping itu, evaluasi ini dibuat untuk memperbaiki program bukan untuk membuktikan suatu kebenaran (The purpose of evaluation is not to prove but to Improve, Stufflebeam, 1997 dalam Arikunto 2004).
Model evaluasi CIPP digunakan untuk mengukur, menterjemahkan dan mengesahkan perjalanan suatu program, dimana kekuatan dan kelemahan program dikenali. Kekuatan dan kelemahan program ini meliputi institusi, program itu sendiri, sasaran populasi/ individu. Model evaluasi ini meliputi kegiatan pendeskripsian masukan dan sumberdaya program, perkiraan untung rugi, dan melihat alternatif prosedur dan strategi apa yang perlu disarankan dan dipertimbangkan (Guba & Stufflebeam, 1970). Singkatnya, input merupakan model yang digunakan untuk menentukan bagaimana cara agar penggunaan sumberdaya yang ada bisa mencapai tujuan serta secara esensial memberikan informasi tentang apakah perlu mencari bantuan dari pihak lain atau tidak. Aspek input juga membantu menentukan prosedur dan desain untuk mengimplementasikan program
Evaluasi ini menolong mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada, alternatif apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai kebutuhan, bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya.
Menurut Stufflebeam pertanyaan yang berkenaan dengan masukan mengaral pada "pemecahan masalah" yang mendorong diselenggarakannya progran yang bersangkutan.
Misalnya pada evaluasi kurikulum, pertanyaan yang diajukan antara lain :
a. Apakah proses metode belajar mengajar yang diberikan memberikan dampak jelas pada perkembangan peserta didik?
b. Bagaimana reaksi peserta didik terhadap metode pembelajaran yang diberikan?
3) Evaluasi Proses
Evaluasi proses dalam model CIPP diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan sudah terlaksana sesuai dengan rencana. Evaluasi proses dalam model CIPP menunjuk pada "apa" (what) kegiatan yang dilakukan dalam program, "siapa" (who) orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab program, "kapan" (when) kegiatan akan selesai. Dalam model CIPP, evaluasi proses diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan di dalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana. Oleh Stufflebeam (dalam Arikunto, 2004), mengusulkan pertanyaan untuk proses antara lain sebagai berikut:
a. Apakah pelaksanaan program sesuai dengan jadwal.
b. Apakah yang terlibat dalam pelaksanaan program akan sanggup menangani kegiatan selama program berlangsung ?
c. Apakah sarana dan prasarana yang disediakan dimanfaatkan secara maksimal?
d. Hambatan-hambatan apa saja yang dijumpai selama pelaksanaan program?
4) Evaluasi pada produk atau hasil
Evaluasi produk diarahkan pada hal-hal yang menunjukkan perubahan yang terjadi pada masukan mentah. Pertanyaan-pertanyaan yang bisa diajukan antara lain:
a. Apakah tujuan-tujuan yang ditetapkan sudah tercapai?
b. Apakah kebutuhan peserta didik sudah dapat dipenuhi selama proses belajar mengajar?
7. Model Evaluasi Adversari ( Adversary Evaluation Model )l dikembangkan oleh T.R Owen
    Secara umum Model Evaluasi Adversari dilakukan melalui aktivitas sebagai berikut :
1.     Membentuk dua atau lebih Tim Evaluator yang independen
2.     Melakukan evaluasi
3.     Merumuskan hasil evaluasi
4.     Dengar pendapat
5.     Keputusan mengenai program
8. Discrepancy Model (dikembangkan oleh Malcom Provus).
Provus mendefinisikan evaluasi sebagai alat untuk membuat pertimbangan (judgement) atas kekurangan dan kelebihan suatu objek berdasarkan diantara standar dan kinerja. Model ini juga dianggap menggunakan pendekatan formatif dan berorientasi pada analisis system. Standar dapat diukur dengan menjawab pertanyaan bagaimana program berjalan. Sementara pencapaiannya ada;ah lebih kepada apakah yang sebenarnya terjadi. Evaluator hanya boleh membantu dengan membentuk dan menjelaskan peranan standar dan pencapaian.
Dalam model evaluasi ini, kebanyakan informasi yang diperoleh berbeda dan dikumpulkan dengan beberapa cara, yaitu (Azizi, 2008):
1) Merencanakan bentuk penilaian, menentukan kemantapan suatu program.
2) Penilaian input, bertujuan membantu pihak pengurus dengan memastikan sumber yang diperlukan mencukupi.
3) Proses penilaian, memastikan aktivitas yang dirancang berjalan dengan lancer dan memiliki mutu seperti yang diharapkan.
4) Penilaian hasil, judgement di tahap pencapaian suatu hasil yang direncanakan.
Menurut Provus evaluasi adalah untuk membangun dan affirmatif, tidak untuk menghakimi. Model Evaluasi Discrepancy/ Pertentangan ( Provus, 1971) adalah suatu model evaluasi program yang menekankan pentingnya pemahaman sistem sebelum evaluasi. Kapan saja kita sedang mencoba untuk mengevaluasi sesuatu, ditekankan bahwa kita harus mempunyai pemahaman tepat dan jelas atas hal yang dievaluasi, untuk menetapkan standar.
Model ini merupakan suatu prosedur problem-solving untuk mengidentifikasi kelemahan (termasuk dalam pemilihan standar) dan untuk mengambil tindakan korektif. Di dalam kasus suatu sistem yang kompleks seperti suatu proyek, obyek evaluasi bisa belum jelas dan sukar untuk dipahami. Klarifikasi obyek evaluasi obyek adalah sangat perlu untuk membuat evaluasi terlaksana.
Dengan model ini, proses evaluasi pada langkah-langkah dan isi kategori sebagai cara memfasilitasi perbandingan capaian program dengan standar, sementara pada waktu yang sama mengidentifikasi standar untuk digunakan untuk perbandingan di masa depan. Argumentasi Provus, bahwa semua program memiliki daur hidup (life cycle). Karena program terdiri atas langkah-langkah pengembangan, aktivitas evaluasi banyak diartikan adanya integrasi pada masing-masing komponennya.
1. Dalam definition stage (tahap definisi), staf program mengorganisir a) gambaran tujuan, proses, atau aktivitas dan kemudian b) menggambarkan sumber daya yang diperlukankan. Harapan atau standar ini adalah dasar dimana evaluasi berkelanjutan tergantung.
2. Dalam installation stage (langkah instalasi), desain/ definisi program menjadi standar baku untuk diperbandingkan dengan penilaian operasi awal program. Gagasannya adalah untuk menentukan sama dan sebangun, sudah atau tidaknya program telah diterapkan sebagaimana desainnya.
3. Dalam product stage (tahap proses), evaluasi ditandai dengan pengumpulan data untuk menjaga keterlaksanaan program. Gagasannya adalah untuk memperhatikan kemajuan kemudian menentukan dampak awal, pengaruh, atau efek.
4. Dalam product stage (tahap produk), pengumpulan data dan analisa yang membantu ke arah penentuan tingkat capaian sasaran dari outcome. Dalam tahap 4 ini pertanyaannya adalah “Apakah sasaran program telah dicapai?" Harapannya adalah untuk merencanakan follow up jangka panjang pemahaman atas dampak.
5. (optional) tahap cost-benefit menunjukkan peluang untuk membandingkan hasil dengan yang dicapai oleh pendekatan lain yang serupa.
Pada masing-masing empat tahap perbandingan standard dengan capaian program untuk menentukan bila ada pertentangan. Penggunaan informasi pertentangan selalu mengarah pada satu dari empat pilihan:
1. Dilanjutkan ke tahap berikutnya bila tidak ada pertentangan.
2. Jika terdapat pertentangan, kembali mengulang tahap yang ada setelah merubah standar program.
3. Jika tahap 2 tidak bisa terpenuhi, kemudian mendaur ulang kembali ke langkah 1– tahap definisi program, untuk menggambarkan kembali program tersebut, kemudian memulai evaluasi pertentangan lagi pada tahap 1.
4. Jika tahap 3 tidak bisa terpenuhi pilihannya adalah mengakhiri program.
9. Model Evaluasi Sistem Analisis ( Analisis Evaluation Model )
          Untuk memahami model evaluasi ini terlebih dahulu perlu memahami teori sistem. Dalam   Evaluasi Sistem Analisis terdapat empat jenis evaluasi yaitu :
  1. Evaluasi masukkan ( Input evaluation )
  2. Evaluasi Proses ( Process evaluation )
  3. Evaluasi keluaran ( Output Evaluation )
  4. Evaluasi akibat ( Outcome evaluation )
  5. Evaluasi pengaruh ( Impact evaluation )
10. Model Evaluasi Benchmarking ( Bangku Ular )
     Benchmaking adalah suatu proses mengevaluasi dan membandingkan objek bencmarking ;
     produk, biayasiklus,waktu produktivitas,kualitas proses khusus,tenaga atau metode suatu
     organisasi lainnya yang dianggapsebagai suatu standar industri atau praktik yang terbaik     
    suatu industri.
11. Model Evaluasi Kotak Hitam ( Black Box Evaluation Model )
       Black Box Evaluation Model sangat menolong para konsumen dalam membeli produk barang dan jasa . Konsumen sudah mempunyai informasi untuk mengambil keputusan mengenai barang dan jasa sebelum membeli barang dan jasa yag diperlukannya..
12.  Model Evaluasi Konosursip dan Kritikisme ( Connoissership and Critic Evoluation        Model)
      dikemukakan E.W Eisner ( 1975 )
       Istilah konosur telah lama dipakai untuk keahlian dan penilaan. Di bidangp roduk tertentu.Di dalam bidang pendidikan, istilah konoser diterapkan misalnya dalam bidang kurikulum pendidikan. Berbagai program  pendidikan memerlukan kurikulum yang sesuai dengan tujuan program pendidikan tersebut.
13.  Model Evaluasi Terfokus Utilisasi ( Utilization-focused evoluation ) dikembangkan oleh
       Michael Quinn (1997; 2022 )
       Utilisasi evaluasi artinya : pemakaian evaluasi untuk pengambilan keputusan  oleh orang atau lembaga yang dituju oleh  evaluasi.
14. Akreditasi
       Akreditasi adalah evaluasi proses menilai lembaga yang menyajikan jasa apakah sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Sehingga tujua dari akreditasi adalah untuk melindungi pemakai jasa mendapatkan layanan  jasa yang dibutuhkannya dengan baik.

15. Theory-driven Evoluation Model ( Theory-driven-evoluation ) dipelopori oleh
       Peter Rossi,Huey Tsyh Chen
       Teori ini disusun berdasarkan asumsi bahwa intervensi program harus diekspresikan berdasarkan hubungan kausal atau teori program.    
16.  Model Evaluasi Semu
       Evaluasi semu termotivasi oleh tujuan politik baik baik berdasarkan politik organisasi atau politik pemegang kekuasan organisasi.





















BAB III
 MODEL EVALUASI RESPONSIF

            Model Evaluasi Responsif ( Responsive evaluation model ) dikembangkan pada tahun 1975 oleh Robert Stake (1975 ). Pada awalnya Stake menamai model evaluasi ini Contenance of  Educational Evaluation – Daniel L. Stufflebeam dan Anthony J. Shinfield ( 1985 ) memberi nama model ini sebagai Client Centred Evaluation atau evaluasi berpusat pada klien.
Menurut Stake evaluasi disebut responsif jika memenuhi 3 kriteria
  1. Lebih berorientasi secara langsung kepada aktivitas program dari pada tujuan program
  2. Merespon kepada persyaratan kebutuhan informasi  dari audiens
  3. Perrspektif nilai-nilai yang berbeda dari orang-orang yang dilayani dilaporkan dalam kesuksesan dan kegagalan dari program
Menurut Stake, evaluator pendidikan harus bekerja untuk dan mendapatkan dukungan para pendidik yang menyajikan layanan pendidikan. Evaluator melayani berbagai jenis klien termasuk para guru, para administrator sekolah, pengembang kurikulum, pembayar pajak,para legislador, sponsor finansial dan masyarakat umumnya yang sering mempunyai perbedaan kebutuhan. Para evaluator harus berinteraksi secara terus menerus untuk merespon kebutuhan para kliennya. Ia mengkritik model evaluasi berbasis tujuan yang diberinya lebel sebagai evaluasi preordinat, yaitu evaluasi yang sudah ditentukan sebelumnya
            Daniel L. Stufflebeam dan Anthony J.Shinnfield (1985 ) mengemukakan pola pikir Stake mengenai evaluasi :
  1. Evaluasi harus membantu audiens untuk melihat dan memperbaiki apa yang mereka lakukan karenanya disebut sebagai evaluasi berpusat pada klien
  2. Para evaluator harus melukiskan program-program dalam kaitan dengan factor-faktor yang mendahului,transaksi dan manfaat evaluasi.
  3. Yang harus diteliti dalam evaluasi antara lain efek sampingan,pencapaian insidensial, dan manfaat dari program
  4. Para evaluator harus menghindari membuat kesimpulan akhir sumatif,ia harus mengumpulkan, menganalisis, dan merefleksikan penilaian berbagai pemangku kepentingan yang mempunyai minat terhadap obyek evaluasi
Langkah-langkah proses evaluasi adalah sebagai berikut:
  1. Evaluator mengidentifikasi jenis dan jumlah setiap pemangku kepentingan                    ( respondent )
  2.  Melakukan dengar pendapat dengan pemangku kepentingan
  3. Menyusun proposal evaluasi
  4. Melaksanakan evaluasi
  5. Membahas hasil evaluasi dengan para pemangku kepentingan
  6. Pemanfaatan hasil evaluasi.
Penilaian itu dapat berarti bila dapat mencari pengertian  suatu isu dari berbagai sudut pandangan dari semua orang yang terlibat, yang berminat dan yang berkepentingan dengan program .Evaluator tak percaya ada satu jawaban untuk suatu evaluasi program yang dapat ditemukan dengan memakai  tes, kuidioner dan analisi statistik. Setiap orang yang dipengaruhi oleh program merasakannya secara unik, dan evaluator menolong menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan melukiskannya atau menguraikannya kenyataan melalui orang-orang terrsebut.. Tujuan evaluator adalah berusaha mengerti urusan program melaluiberbagai sudut pandang yang berbeda.
Evaluasi responsif ditandai ciri-ciri penelitian yang kualitatif , naturalistic. Evaluator mengandalkan observasi langsung dan tidak langsung terhadap kejadian dan interpretasi data yang impresionistik. Evaluator mencoba responsif terhadap orang-orang yang berkepentingan pada hasil evaluasi. Evaluator bukan berarti menghindari pengukuran dan tehnik analisis sama sekali tetapi tes tradicional  dan instruyen menjadi pertimbangan kedua.
Kelebihannya adalah bahwa ada kepekaan terhadap berbagai titik pandangan , dan kemampuannya mengakomodasi pendapat . Pendekatan responsif dapat beroperasi pada situasi yang terdapat banyak perbedaan minat dan kelompok yang berbeda-beda. Keterbatasannya adalah sukar untuk membuat prioritas, atau penyederhanaan informasi untuk pemegang keputusan dan kenyataan yang praktis tidak mungkin menampung semua sudut pandang dari berbagai kelompok.


























BAB IV
PENUTUP


Kesimpulan
Untuk meningkatkan mutu pembelajaran dibutuhkan sistem evaluasi yang tepat, karena peserta didik memiliki berbagai kemampuan yang berbeda-beda maka sistem evaluasi yang digunakan harus terintegrasi dan mampu mengukur semua kemampuan yang ada pada peserta didik.
Evaluasi pendidikan tidak hanya digunakan untuk mengukur ranah kognitif peserta didik saja. Adapun ranah yang diukur dengan menggunakan nontes ini adalah kognitif, psikomotorik, perseptual, komunikasi nondiskursip, dan ranah afektif.
Dalam evaluasi pendidikan Ada empat komponen yang saling terkait dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan yaitu:
1. Evaluasi
2. Penilaian
3. Pengukuran
4. Tes dan non tes
Evaluator pendidikan harus bekerja untuk dan mendapatkan dukungan para pendidik yang menyajikan layanan pendidikan. Evaluator melayani berbagai jenis klien termasuk para guru, para administrator sekolah, pengembang kurikulum, pembayar pajak,para legislador, sponsor finansial dan masyarakat umumnya yang sering mempunyai perbedaan kebutuhan.

Pendekatan responsif dapat beroperasi pada situasi yang terdapat banyak perbedaan minat dan kelompok yang berbeda-beda.


DAFTAR PUSTAKA


Wirawan,Dr, Evaluasi teori,model,standar,aplikasi dan profesi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Wibowo Samudra, Cs, 1994, Evaluasi Kebijakan Publik, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
William N Dunn, 2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua, Gajah
Mada University Press, Jogjakarta.
Winarno, Budi, 2004, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Edisi/Cetakan Kedua,
Media Pressindo, Jogjakarta.
---------,2001, Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan
Negara, Edisi Kedua,, Bumi Aksara, Jakarta.
--------,2003, Undang-undang Repubik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, Sistim
Pendidikan Nasional, Jakarta..
Perumusan, Implementasi dan Evaluasi, PT Elex Media
Komputindo, Gramedia, Jakarta.
--------,2006, Metodologi Penelitian Kualitatif, Pustaka Cakra Surakarta



































Tidak ada komentar:

Posting Komentar