PASCA SARJANA UHAMKA
MAGISTER ADMINISTRASI
PENDIDIKAN
JAKARTA 2011
BAB I
PENDAHULUAN
Mutu
pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor siswa, pengelola sekolah ( Kepala
Sekolah, Karyawan, dan Dewan / Komite Sekolah ), Lingkungan ( orang tua,
Masyarakat, Sekolah ), Kualitas Pembelajaran, Kurikulum dan sebagainya. ( Edy
Suhartoyo, 2005:2 ), Hal senada juga disampaikan oleh Djemari Mardapi ( 2003: 8 ) bahwa “ Usaha peningkatan
kualitas pendidikan dapat ditempuh melalui peningkatan kualitas pembelajaran
dan kualitas sistem penilaian . Keduanya saling terkait sistem pembelajaran yang baik, akan menghasilkan
kualitas belajar yang baik. Selanjutnya sistem penilaian yang baik akan
mendorong guru untuk menentukan strategi mengajar yang baik ”
Dengan demikian salah satu faktor yang penting
untuk mencapai tujuan pendidikan adalah proses pembelajaran yang dilakukan ,
sedangkan salah satu faktor yang penting untuk efektifitas pembelajaran adalah
faktor evaluasi baik terhadap proses maupun hasil pembelajaran.
Evaluasi merupakan komponen yang sangat penting
dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan sistem evaluasi yang baik maka
kualitas pembelajaran diharapkan akan meningkat. Untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran tersebut, evaluasi sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan semua
ranah yang dimiliki peserta didik.
Namun, evaluasi pendidikan yang dilaksanakan
selama ini dirasakan belum memberikan distribusi yang cukup untuk peningkatan
kualitas pendidikan. Hal ini disebabkan oleh sistem evaluasi yang digunakan
belum tepat atau pelaksanaan evaluasi belum seperti yang diharapkan, oleh
karena itu perlu dilakukan inovasi terhadap sistem evaluasi pendidikan ke arah
yang lebih baik, agar dapat mengukur semua kemampuan yang dimiliki oleh peserta
didik tanpa hanya mengukur ranah kognitifnya saja.
Dengan sistem evaluasi yang baik maka akan
mendorong pendidik untuk menentukan strategi mengajar yang baik sehingga dapat
memotivasi peserta didik untuk belajar yang lebih baik dengan tujuan akhir
meningkatnya kualitas pendidikan di Indonesia pada umumnya, seperti yang
diamanahkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa yang merupakan tujuan pendidikan nasional.
BAB II
KOMPONEN EVALUASI PENDIDIKAN
1. PENGERTIAN
PROGRAM
Ada dua pengertian untuk istilah “program”, yaitu
pengertian secara khusus dan umum. Menurut pengertian secara umum, “program”
dapat diartikan sebagai”rencana”. Rencana ini mungkin berupa keinginan untuk
melanjutkan kependidikan yang lebih tinggi, mencari pekerjaan, membantu orang
tua dalam membina usaha, atau mungkin juga belum menentukan program apapun.
Pengertian umum lainnya tentang definisi “program” adalah suatu unit atau kesatuan
kegiatan. Berdasarkan pengertian itu maka program merupakan sebuah sistem,
yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan tidak hanya satu kali tetapi
berkesinambungan.
Sedangkan secara khususnya, apabila “program” ini langsung dikaitkan dengan evaluasi program maka program didefinisikan sebagai suatu unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang.
Ada tiga tiga pengertian penting dan perlu ditekankan dalam menentukan program, yaitu:
Sedangkan secara khususnya, apabila “program” ini langsung dikaitkan dengan evaluasi program maka program didefinisikan sebagai suatu unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang.
Ada tiga tiga pengertian penting dan perlu ditekankan dalam menentukan program, yaitu:
- Realisasi atau implementasi suatu kebijakan
- Terjadi dalam waktu yang relatif lama-bukan kegiatan tunggal tetapi jamak berkesinambungan
3. Terjadi dalam organisasi yang melibatkan sekelompok orang
Dalam kehidupan terdapat juga program yang berlangsung hanya dalam waktu
singkat, misalnya program peringatan Hari Pahlawan. Upacara peringatan ini
dapat diklasifikasikan sebagai program karena mengandung beberapa komponen dan
dirancang melalui serangkaian rapat, tetapi pelaksanannya hanya sebentar.
Selain mengandung tiga pengertian di atas, ada pula program-program
tertentu yang menunjukkan ciri-ciri lain, yaitu adanya kegiatan jamak yang
merupakan rangkaian. Sebagai contoh adalah kegiatan pembelajaran. Pembelajaran
adalah kegiatan jamak karena melalui urutan dari penyusunan kurikulum di pusat,
pembuatan Analisis Materi Pembelajaran (AMP), pembuatan rencana mengajar,
pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, yaitu pembelajaran dan evaluasi prestasi
belajar. Di dalam rangkaian proses tersebut, kegiatan awal yang mendahului
merupakan faktor penentu keberhasilan kegiatan berikutnya.
2. EVALUASI PROGRAM
Dalam evaluasi pendidikan, ada empat komponen yang
saling terkait dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Penjelasan
dari keempat komponen tersebut yaitu sebagai berikut :
A. Evaluasi
Dalam mendefinisikan evaluasi, para ahli memiliki
sudut pandang yang berbeda sesuai dengan bidang keahlian masing-masing. Namun
inti dari semua definisi menuju ke satu titik, yaitu proses penetapan keputusan
tentang sesuatu objek yang dievaluasi.
Dalam konteks pendidikan, khususnya yang berkaitan
dengan hasil kerja siswa, Nitko dan Brookhart (2007) mendefinisikan Evaluasi
sebagai suatu proses penetapan nilai yang berkaitan dengan kinerja dan hasil
karya siswa. Fokus evaluasi dalam konteks ini adalah individu, yaitu
prestasi belajar yang dicapai kelompok siswa atau kelas. Konsekuensi logis dari
pandangan ini, mengharuskan evaluator untuk mengetahui betul tentang tujuan
yang ingin dievaluasi. Beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai objek evaluasi
yaitu prestasi belajar, perilaku, motivasi, motivasi diri, minat, dan tanggung
jawab.
Dalam konteks lembaga evaluasi merupakan salah
satu rangkaian kegiatan dalam meningkatkan kualitas, kinerja atau produktivitas
suatu lembaga dalam melaksanakan programnya (Mardapi,2004). Hal yang hampir
sama dikemukakan oleh Stuffelbeam dan Shinkfield (2007), yang mengatakan bahwa
evaluasi merupakan proses memperoleh, menyajikan, dan menggambarkan informasi
yang berguna untuk menilai suatu alternatif pengambilan keputusan tentang suatu
program.
Selanjutnya, Ebel (1986) berpendapat bahwa
evaluasi merupakan suatu kebutuhan dimana evaluasi harus memberikan suatu
keputusan tentang informasi apa saja yang dibutuhkan, bagaimana informasi
tersebut dikumpulkan, serta bagaimana informasi tersebut disintesiskan untuk
mendukung hasil yang diharapkan.
Kirkpatrick (1998), menyarankan tiga komponen yang
harus dievaluasi dalam pembelajaran yaitu pengetahuan yang dipelajari,
ketrampilan apa yang dikembangkan, dan sikap apa yang perlu diubah. Untuk
mengevaluasi komponen pengetahuan dan atau perubahan sikap, dapat digunakan paper-and-pencil
tast (tes tertulis) sebagai alat ukurnya. Evaluasi program untuk
meningkatkan ketrampilan siswa dapat digunakan tes kinerja sebagai alat
ukurnya.
Menurut Astin (1993) ada tiga komponen yang dapat
meningkatkan kualitas pembelajaran yaitu masukan, lingkungan sekolah, dan
keluarannya. Artinya tidak hanya ranah kognitif saja yang diukur.
Ditinjau dari cakupannya, evaluasi ada yang
bersifat makro yaitu menggunakan sampel dalam menelaah suatu program dan
dampaknya, yang sasarannya adalah program pendidikan. Kemudian evaluasi yang
bersifat mikro yang sasarannya adalah program pembelajaran di kelas dan yang
menjadi penanggungjawabnya adalah tenaga pendidik.
Evaluasi pengajaran dapat dikategorikan menjadi
dua yaitu formatif dan sumatif. Evaluasi formatif adalah evaluasi yang
dilakukan pada setiap akhir pembahasan suatu pokok bahasan/topik yang tujuannya
untuk memperbaiki proses belajar-mengajar. Sedangkan evaluasi sumatif adalah
evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir satu satuan waktu yang di dalamnya
tercakup lebih dari satu pokok bahasan, yang tujuannya untuk menetapkan tingkat
keberhasilan peserta didik dalam kurun waktu tertentu yang ditandai dengan
perolehan nilai peserta didik dengan ketetapan lulus atau belum.
Evaluasi dilaksanakan untuk mencapai berbagai
tujuan sesuai dengan obyek evaluasinya. Tujuan melaksanakan evaluasi antara
lain adalah :
1. Mengukur pengaruh program terhadap masyarakat
2. Menilai apakah program telah
dilaksanakan sesuai dengan rencana
3. Mengukur apakah pelaksanaan program sesuai dengan standar
4. Evaluasi program dapat
mengidentifikasi dan menemukan mana dimensi program
yang jalan, mana yang tidak
berjalan.
5. Pengembangan staf program
6. Memenuhi ketentuan Undang-undang
7. Akreditasi program
8. Mengukur cost
effectiveness dan cost- efficiency
9. Mengambil keputusanmengenai
program
10. Accountabilitas
11. Memberikan balikkan
kepada pimpinan dan staf program
12. Memperkuat posisi politik
13. Mengembangkan teori ilmu evaluasi atau risset evaluasi
B. Penilaian
Penilaian merupakan komponen penting dalam
penyelenggaraan pendidikan. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan dapat
ditempuh melalui peningkatan kualitas pembelajaran dan kualitas penilaiannya.
Penilaian didefinisikan sebagai proses pengumpulan informasi tentang kinerja
siswa, untuk digunakan sebagai dasar dalam membuat keputusan (Weeden, Winter,
dan Broadfoot: 2002; Bott: 1996; Nitko: 1996; Mardapi: 2004). Selanjutnya Black
dan William (1998) mendefinisikan penilaian sebagai semua aktivitas yang
dilakukan oleh guru dan siswa untuk menilai diri mereka sendiri, yang
memberikan informasi untuk digunakan sebagai umpan balik untuk memodifikasi
aktivitas balajar dan mengajar.
Penilaian berdasarkan definisi diatas member
penekanan pada usaha yang dilakukan guru maupun siswa untuk memperoleh
informasi yang berkaitan dengan pembelajaran yang mereka lakukan yang dapat
dijadikan sebagai umpan balik untuk melakukan perubahan aktivitas bealajar
mengajar yang lebih baik dari sebelumnya.
Tujuan penilaian:
1. Membantu belajar siswa
2. Mengidentifikasi
kekuatan dan kelemahan siswa
3. Menilai efektifitas
strategi pengajaran
4. Menilai dan meningkatkan
efektifitas program kurikulum
5. Menilai dan meningkatkan
efektifitas pengajaran
6. Menyediakan data yang
membantu dalam membuat keputusan
7. Komunikasi dan
melibatkan orang tua siswa
Kegiatan penilaian dalam proses pembelajaran harus diarahkan pada 4 hal:
1. Penelusuran, untuk
menelusuri kesesuaian proses pembelajaran dengan yang direncanakan.
2. Pengecekan, untuk
mencari informasi tentang kekurangan-kekurangan pada peserta didik selama
pembelajaran.
3. Pencarian, untuk mencari
penyebab kekurangan yang muncul selama proses pembelajaran.
4. Penyimpulan, untuk
menyimpulkan tingkat pencapaian belajar yang telah dimiliki peserta didik.
C. Pengukuran
Pengukuran merupakan suatu proses pemberian angka kepada suatu atribut atau
karakteristik tertentu yang dimiliki oleh orang, hal, atau obyek tertentu
menurut aturan atau formulasi yang jelas. Berdasarkan pandangan tersebut,
tampak bahwa semua kegiatan di dunia ini tidak bisa lepas dari pengukuran.
Pengukuran pada dasarnya merupakan kegiatan penentuan angka bagi suatu
objek secara sistematik. Penentuan angka ini merupakan usaha untuk
menggambarkan karakteristik suatu objek kemampuan seseorang dalam bidang
tertentu dinyatakan dengan angka. Dalam menentukan karakteristik individu
pengukuran yang dilakukan harus sedapat mungkin mnegandung kesalahan yang kecil
(Mardapi,2004).
Kesahihan alat ukur bisa dilihat dari kisi-kisi alat ukur. Kisi-kisi ini
berisi tentang materi yang diujikan, bentuk soal, tingkat berfikir yang
terlibat, bobot soal dan cara penskoran.
Pokok bahasan yang diujikan harus berdasarkan
Kriteria sebagai berikut :
1. Pokok bahasan yang
esensial
2. Memiliki nilai aplikasi
3. Berkelanjutan
4. Dibutuhkan untuk
mempelajari mata pelajaran lain.
D. Tes
dan nontes
1. Tes
Tes merupakan sejumlah pertanyaan yang memiliki jawaban yang benar atau
salah. Tes diartikan juga sebagai sejumlah pertanyaan yang membutuhkan jawaban,
atau sejumlah pertanyaan yang harus diberikan tanggapan dengan tujuan mengukur
tingkat kemampuan seseorang atau mengungkap aspek tertentu dari orang yang
dikenai tes (testee).
2. Nontes
Nontes
dapat digunakan untuk mengukur semua ranah yang dimiliki oleh masing-masing
individu yang tentunya berbeda.
Adapun ranah yang diukur
dengan menggunakan nontes ini adalah kognitif, psikomotorik, perseptual,
komunikasi nondiskursip, dan ranah afektif.
Mardapi (2004), mengatakan
bahwa dalam kaitan dengan afektif ada empat tipe karakteristik afektif yang
penting, yaitu sikap, minat, konsep diri, dan nilai.
MODEL-MODEL EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN
Dalam ilmu evaluasi program pendidikan, ada banyak model yang dipergunakan
untuk mengevaluasi keterlaksanaan program. Meskipun antara satu dengan yang
lain berbeda tetapi maksudnya sama yaitu melakukan kegiatan pengumpulan data
atau informasi yang berkenaan dengan objek yang dievaluasi, yang tujuannya
menyediakan bahan bagi pengambil keputusan dalam menentukan tindak lanjut suatu
program.
Ada beberapa ahli evaluasi program yang dikenal sebagai penemu model
evaluasi program, yaitu Stufflebeam, Metfessel, Michael Scriven, Tayler, Stake
dan Glaser. Kaufman dan Thomas membedakan model evaluasi menjadi delapan,
yaitu:
1) Model
Evaluasi Berbasis Tujuan ( Goal oriented evaluation model ) ,
dikembangkan oleh Tyler
2) Model Evaluasi Bebas Tujuan ( Goal Free
Evaluation Model ), dikembangkan oleh Michael Scriven.
3) Model Evaluasi Formatif ( Formatif Evaluation Model ), dikembangkan oleh
Michael Scriven..
4) Model Evaluasi Sumatif ( Summatif Evaluation Model ), dikembangkan
oleh Michael Scriven..
5) Model
Evaluasi Responsif ( Responsive Evaluation Model), dikembangkan oleh
Stake.)
6) Model Evaluasi Context, Input, Process,dan
Product( CIPP Evaluation Model), dikembangkan oleh Stufflebeam.
7) Model
Evaluasi Adversari ( Adversary Evaluation Model )l dikembangkan oleh T.R
Owen
8) Model Evaluasi Ketimpangan ( Discrepancy
Evolution Model ) dikembangkan oleh Malcom M. Provus ( 1971 )
9) Model
Evaluasi Sistem Analisis ( Analisis Evaluation Model )
10) Model Evaluasi Benchmarking ( Bangku Ular )
11) Model Evaluasi Kotak Hitam ( Black Box
Evaluation Model )
12) Model Evaluasi
Konosursip dan Kritikisme ( Connoissership and Critic Evoluation Model)
dikemukakan E.W Eisner ( 1975 )
13) Model Evaluasi
Terfokus Utilisasi ( Utilization-focused evoluation ) dikembangkan oleh
Michael Quinn (1997; 2022 )
14) Akreditasi
15) Theory-driven
Evoluation Model ( Theory-driven-evoluation ) dipelopori oleh
Peter Rossi,Huey Tsyh Chen
16) Model Evaluasi
Semu
Penjelasan
dari masing-masing model evaluasi tersebut diatas adalahs ebagai berikut:
1. Goal Oriented Evaluation Model (dikembangkan oleh Tyler)
Model ini merupakan model yang muncul paling awal.
Yang menjadi obyek pada model ini adalah tujuan dari program yang sudah
ditetapkan jauh sebelum program dimulai. Evaluasi ini dilakukan secara
berkelanjutan, terus-menerus, men-cek sejauh mana tujuan tersebut sudah
terlaksana dalam proses pelaksanaan program.
Secara umum model evaluasi ini memberikan
penekanan terhadap produktivitas dan akuntability dalam suatu aktifitas. Model
ini juga sering dipergunakan untuk mengukur pencapaian dan kemajuan peserta didik.
Model ini menepikan dimensi proses dalam pelaksanaan evaluasi. Model ini sering
mengutarakan pertanyaan seperti apakah peserta didik dapat mencapai suatu
sasaran dengan baik?, apakah para dosen dapat menjalankan pekerjaanya dengan
baik?
Untuk membentuk ujian pencapaian, Tyler, menggariskan beberapa prosedur
yang perlu diikuti, yaitu:
a) Mengenal pasti sasaran program yang hendak
dijalankan.
b) Menguraikan setiap tujuan dalam bentuk tingkah
laku dan isi kandungan.
c) Mengenal pasti situasi dimana tujuan yang
hendak digunakan.
d) Menentukan arah untuk mewakili situasi
e) Menentukan arah untuk mendapatkan hasil.
Tyler mendefinisikan evaluasi sebagai perbandingan
antara hasil yang dikehendaki dengan hasil yang sebenarnya. Pendekatan Tyler
memberikan dasar pada pengukuran tingkah laku dalam suatu tujuan yang dibentuk
dan mendasarkan kepada hasil pembelajaran dari input pengajaran. Tyler telah
membuat beberapa perubahan dalam konsepnya mengenai penilaian. Perubahan ini
dikembangkan dalam definisi penilaiannya awal yaitu penilaian dalam program
yang dibuat dengan membandingkan konsep program dengan dasar yang relevan untuk
memantapkan perencanaan program. Termasuk didalamnya:
a) Penilaian di tingkat implementasi
b) Penilaian dalam monitoring yang berkelanjutan dalam
suatu program.
Menurut Tyler (1951 dalam Azizi, 2008), penilai
harus menilai tingkah laku peserta didik, pada perubahan tingkah laku yang
dikehendaki dalam pendidikan. Selain itu evaluasi mesti dibuat pada akhir
program.
Dalam model ini, langkah pertama adalah mengenali
tujuan suatu program. Setelah tujuan program diketahui, indikator-indikator
pencapaian tujuan dan alat pengukuran diketahui pasti. Hasil kajian akan
dibandingkan dengan tujuan program dan keputusan dibuat level pencapaian yang
diperoleh. Menurut Tyler, apabila tujuan program tidak tercapai sepenuhnya, ini
membawa implikasi sama bahwa program pembelajaran lemah atau juga bahwa tujuan
yang dipilih tidak sesuai.
2. Goal Free Evaluation Model (dikembangkan oleh Michael Scriven).
Model evaluasi yang dikembangkan oleh Michael
Scriven tahun 1972 ini dapat dikatakan berlawanan dengan model pertama yang
dikembangkan oleh Tyler. Jika dalam model yang dikembangkan oleh Tyler,
evaluator terus-menerus memantau tujuan, yaitu sejak awal proses terus melihat
sejauh mana tujuan tersebut sudah dapat dicapai, dalam model goal free
evaluation (evaluasi lepas dari tujuan) justru menoleh dari tujuan.
Menurut Michael Scriven, dalam melaksanakan
evaluasi program evaluator tidak perlu memperhatikan apa yang menjadi tujuan
program. Yang perlu diperhatikan dalam program tersebut adalah bagaimana
kerjanya program, dengan jalan mengidentifikasi penampilan-penampilan yang
terjadi, baik hal-hal yang positif (yaitu hal yang diharapkan) maupun hal-hal
negatif (yang sebetulnya memang tidak diharapkan).
Alasan mengapa tujuan program tidak perlu
diperhatikan karena ada kemungkinan evaluator terlalu rinci mengamati tiap-tiap
tujuan khusus. Jika masing-masing tujuan khusus tercapai, artinya terpenuhi
dalam penampilan, tetapi evaluator lupa memperhatikan sejauh mana masing-masing
penampilan tersebut mendukung penampilan akhir yang diharapkan oleh tujuan umum
maka akibatnya jumlah penampilan khusus ini tidak banyak manfaatnya.
Dari uraian ini jelaslah bahwa yang dimaksud
dengan "evaluasi lepas dari tujuan" dalam model ini bukannya lepas
sama sekali dari tujuan tetapi hanya lepas dari tujuan khusus. Model ini hanya
mempertimbangkan tujuan umum yang akan dicapai oleh program, bukan secara rinci
per komponen.
3. Formatif
Evaluation Model (dikembangkan oleh Michael Scriven)
Selain model "evaluasi lepas dari
tujuan", Michael Scriven juga mengembangan model lain, yaitu model
formatif-sumatif. Model ini menunjuk adanya tahapan dan lingkup objek yang
dievaluasi, yaitu evaluasi yang dilakukan pada waktu program masih berjalan
(disebut evaluasi formatif) dan ketika program sudah selesai atau berakhir
(disebut evaluasi sumatif).
Berbeda dengan model yang pertama dikembangkan,
model yang kedua ini ketika melaksanakan evaluasi, evaluator tidak dapat
melepaskan diri dari tujuan. Tujuan evaluasi formatif memang berbeda dengan
tujuan evaluasi sumatif. Sehingga, model yang dikemukakan oleh Michael Scriven
ini menunjuk tentang "apa, kapan, dan tujuan" evaluasi tersebut
dilaksanakan.
Para evaluator pendidikan, termasuk guru-guru yang
mempunyai tugas evaluasi, tentu sudah mengenal dengan baik apa yang dimaksud
dengan evaluasi formatif dan sumatif. Hampir setiap bulan guru-guru
melaksanakan evaluasi formatif dalam bentuk ulangan harian. Evaluasi tersebut
dilaksanakan untuk mengetahui sampai seberapa tinggi tingkat keberhasilan atau
ketercapaian tujuan untuk masing-masing pokok bahasan. Oleh karena luas atau
sempitnya materi yang tercakup di dalam pokok bahasan setiap mata pelajaran
tidak sama maka tidak dapat ditentukan dengan pasti kapan evaluasi formatif
dilaksanakan dan berapa kali untuk masing-masing mata pelajaran.
4. Formatif
Evaluation Model (dikembangkan oleh Michael Scriven)
Evaluasi formatif secara prinsip merupakan
evaluasi yang dilaksanakan ketika program masih berlangsung atau ketika program
masih dekat dengan permulaan kegiatan. Tujuan evaluasi formatif tersebut adalah
mengetahui sejauh mana program yang dirancang dapat berlangsung, sekaligus
mengidentifikasi hambatan. Dengan diketahuinya hambatan dan hal-hal yang
menyebabkan program tidak lancar, pengambil keputusan secara dini dapat
mengadakan perbaikan yang mendukung kelancaran pencapaian tujuan program.
Evaluasi sumatif dilakukan setelah program
berakhir. Tujuan dari evaluasi sumatif adalah untuk mengukur ketercapaian
program. Fungsi evaluasi sumatif dalam evaluasi program pembelajaran
dimaksudkan sebagai sarana untuk mengetahui posisi atau kedudukan individu di
dalam kelompoknya. Mengingat bahwa objek sasaran dan waktu pelaksanaan berbeda
antara evaluasi formatif dan sumatif maka lingkup sasaran yang dievaluasi juga
berbeda.
5. Responsive Evaluation Model
(dikembangkan oleh Stake).
Dalam model evaluasi ini Stake mendefinisikan
evaluasi sebagai suatu nilai pengamatan dibandingkan dengan keahlian. Stakes
(1967 dalam Azizi, 2008), telah menggariskan beberapa ciri pendekatan model
evaluasi responsif, yaitu:
1) Lebih ke arah aktivitas program (proses)
daripada tujuan program.
2) Mempunyai hubungan dengan banyak kalangan untuk
mendapatkan hasil evaluasi.
3) Perbedaan nilai perspektif dari banyak individu
menjadi ukuran dalam melaporkan kegagalan dan keberhasilan suatu program.
Pendekatan ini adalah sistem yang mengorbankan
beberapa fakta dalam evaluasi dengan harapan dapat meningkatkan penggunaan
hasil evaluasi kepada individu atau program itu sendiri. Kebanyakan evaluator
lebih menekankan pada kenyataan, penggunaan ujian obyektif, menentukan standar
program dan laporan penyelidikan. Evaluasi ini kurang memberikan pengaruh dalam
komunikasi formal dibandingkan dengan komunikasi biasa.
Model ini berdasarkan pada apa yang biasa individu
lakukan untuk menilai suatu perkara. Mereka akan memperhatikan dan kemudian
akan bertindak. Untuk melaksanakan evaluasi ini, evaluator dipaksa bekerja
lebih keras untuk memastikan individu yang dipilih memahami apa yang perlu
dilakukan. Evaluator juga perlu membuat prosedur yang baku dan mencari serta
mengatur tim untuk memperhatikan pelaksanaan program tersebut. Dengan bantuan
tim, evaluator akan menyediakan catatan, deskripsi, hasil tujuan serta membuat
grafik. Evaluator juga menilai kualitas dan record orang yang membantu
evaluasi.
Terdapat empat tahap dalam model ini:
1. Pada awal pelaksanaan evaluasi, evaluator dan
klien (stakeholder) membuat perundingan tentang kontrak mengenai tujuan
penilaian, validitas dan jaminan kerahasiaan. Stakeholder disini adalah
individu yang terlibat dalam evaluasi tersebut dan memiliki hak untuk
memberikan ijin dan isu-isu yang berkaitan dengan proses evaluasi.
2. Mengenal pasti concern (perhatian), isu
dan nilai-nilai dari stakeholder. Fakta-fakta diperoleh melalui temu
duga dan soal selidik.
3. Tahap ketiga mengumpulkan informasi yang
memiliki hubungan dengan tujuan, isu, nilai yang dikenal pasti oleh stakeholder.
Evaluator juga bisa mendasarkan data dan informasi secara deskriptif tentang
perkara yang dievaluasi dan standar yang digunakan untuk membuat pertimbangan.
4. Penyediaan laporan mengenai keputusan atau
alternatif. Format kajian kasus sering digunakan untuk membuat laporan ini.
Laporan ini mengandung beberapa isu-isu dan perhatian yang dikenal betul oleh stakeholder.
Tahun 1960-an dan awal 1970, model yang digunakan oleh Stake (1967) dan
Stufflebeam (1968-1971) telah banyak mempengaruhi bidang evaluasi. Pengikut
Stake, memfokuskan evaluasi pada hasil, dimana evaluasi tidak lagi
mempertimbangkan sifat pendidikan yang kompleks dan dinamik.
6. Model
Evaluasi Context, Input, Process,dan Product( CIPP Evaluation Model),
dikembangkan oleh Stufflebeam.
Model ini bertitik tolak pada pandangan bahwa
keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti :
karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan program dan peralatan yang
digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri.
Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi.
Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi.
Stufflebeam melihat tujuan evaluasi sebagai:
1. Penetapan dan penyediaan informasi yang
bermanfaat untuk menilai keputusan alternatif;
2. Membantu audience untuk menilai dan
mengembangkan manfaat program pendidikan atau obyek;
3. Membantu pengembangan kebijakan dan program.
Model evaluasi ini merupakan model yang paling
banyak dikenal dan diterapkan oleh para evaluator. Model CIPP ini dikembangkan
oleh Stufflebeam dan kawan-kawan (1967) di Ohio State University. CIPP yang
merupakan sebuah singkatan dari huruf awal empat buah kata, yaitu
Context evaluation : evaluasi terhadap konteks
Input evaluation : evaluasi terhadap masukan
Process evaluation : evaluasi terhadap proses
Product evaluation : evaluasi terhadap hasil
Keempat kata yang disebutkan dalam singkatan CIPP
tersebut merupakan sasaran evaluasi, yang tidak lain adalah komponen dari
proses sebuah program kegiatan. Dengan kata lain, model CIPP adalah model
evaluasi yang memandang program yang dievaluasi sebagai sebuah sistem.
Model
Evaluasi CIPP
Aspect of evaluation
|
Type of decision
|
Kind of question answered
|
Context
evaluation
|
Planning
decisions
|
What should we
do?
|
Input evaluation
|
Structuring
decisions
|
How should we do
it?
|
Process
evaluation
|
Implementing
decisions
|
Are we doing it
as planned? And if not, why not?
|
Product
evaluation
|
Recycling
decisions
|
Did it work?
|
Sumber : The CIPP approach to evaluation (Bernadette Robinson, 2002)
Empat aspek Model Evaluasi CIPP (context,
input, process and output) membantu pengambil keputusan untuk menjawab
empat pertanyaan dasar mengenai;
1. Apa yang
harus dilakukan (What should we do?); mengumpulkan dan menganalisa needs
assessment data untuk menentukan tujuan, prioritas dan sasaran.
2. Bagaimana
kita melaksanakannya (How should we do it?); sumber daya dan
langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan dan mungkin
meliputi identifikasi program eksternal dan material dalam mengumpulkan
informasi
3. Apakah
dikerjakan sesuai rencana (Are we doing it as planned?); Ini menyediakan
pengambil-keputusan informasi tentang seberapa baik program diterapkan. Dengan
secara terus-menerus monitoring program, pengambil-keputusan mempelajari
seberapa baik pelaksanaan telah sesuai petunjuk dan rencana, konflik yang
timbul, dukungan staff dan moral, kekuatan dan kelemahan material, dan
permasalahan penganggaran.
4. Apakah
berhasil (Did it work?); Dengan mengukur outcome dan membandingkannya
pada hasil yang diharapkan, pengambil-keputusan menjadi lebih mampu memutuskan
jika program harus dilanjutkan, dimodifikasi, atau dihentikan sama sekali.
Penjelasan atas masing-masing aspek dalam model evaluasi CIPP adalah
sebagai berikut:
1) Evaluasi
Konteks
Konteks disini diartikan yaitu situasi atau latar
belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan
dikembangkan dalam program yang bersangkutan, seperti : kebijakan departemen
atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja
dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja
yang bersangkutan, dan sebagainya.
Evaluasi Konteks menilai kebutuhan, permasalahan,
aset, dan peluang untuk membantu pembuat keputusan menetapkan tujuan dan
prioritas serta membantu stakeholder menilai tujuan, prioritas, dan
hasil.
Menurut Sarah McCann dalam Arikunto (2004) evaluasi
konteks meliputi penggambaran latar belakang program yang dievaluasi,
memberikan tujuan program dan analisis kebutuhan dari suatu sistem, menentukan
sasaran program, dan menentukan sejauhmana tawaran ini cukup responsif terhadap
kebutuhan yang sudah diidentifikasi. Penilaian konteks dilakukan untuk menjawab
pertanyaan “Apakah tujuan yang ingin dicapai, yang telah dirumuskan dalam
program benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat?”
Konteks evaluasi ini membantu merencanakan
keputusan, menentukan kebutuhan yang akan dicapai oleh program, dan merumuskan
tujuan program.
Evaluasi konteks adalah upaya untuk menggambarkan
dan merinci lingkungan, kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan sampel
yang dilayani, dan tujuan proyek.
2) Evaluasi
Masukan (Input)
Tahap kedua dari model CIPP adalah evaluasi
masukan. Tujuan utama evaluasi ini adalah untuk mengaitkan tujuan, konteks,
input, proses dengan hasil program. Evaluasi ini juga untuk menentukan
kesesuaian lingkungan dalam membantu pencapaian tujuan dan objectif program.
Disamping itu, evaluasi ini dibuat untuk memperbaiki program bukan untuk
membuktikan suatu kebenaran (The purpose of evaluation is not to prove but
to Improve, Stufflebeam, 1997 dalam Arikunto 2004).
Model evaluasi CIPP digunakan untuk mengukur, menterjemahkan
dan mengesahkan perjalanan suatu program, dimana kekuatan dan kelemahan program
dikenali. Kekuatan dan kelemahan program ini meliputi institusi, program itu
sendiri, sasaran populasi/ individu. Model evaluasi ini meliputi kegiatan
pendeskripsian masukan dan sumberdaya program, perkiraan untung rugi, dan
melihat alternatif prosedur dan strategi apa yang perlu disarankan dan
dipertimbangkan (Guba & Stufflebeam, 1970). Singkatnya, input merupakan
model yang digunakan untuk menentukan bagaimana cara agar penggunaan sumberdaya
yang ada bisa mencapai tujuan serta secara esensial memberikan informasi
tentang apakah perlu mencari bantuan dari pihak lain atau tidak. Aspek input
juga membantu menentukan prosedur dan desain untuk mengimplementasikan program
Evaluasi ini menolong mengatur keputusan,
menentukan sumber-sumber yang ada, alternatif apa yang diambil, apa rencana dan
strategi untuk mencapai kebutuhan, bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya.
Menurut Stufflebeam pertanyaan yang berkenaan
dengan masukan mengaral pada "pemecahan masalah" yang mendorong
diselenggarakannya progran yang bersangkutan.
Misalnya pada evaluasi kurikulum, pertanyaan yang
diajukan antara lain :
a. Apakah
proses metode belajar mengajar yang diberikan memberikan dampak jelas pada
perkembangan peserta didik?
b. Bagaimana
reaksi peserta didik terhadap metode pembelajaran yang diberikan?
3) Evaluasi
Proses
Evaluasi proses dalam model CIPP diarahkan pada
seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan sudah terlaksana sesuai dengan rencana.
Evaluasi proses dalam model CIPP menunjuk pada "apa" (what)
kegiatan yang dilakukan dalam program, "siapa" (who) orang
yang ditunjuk sebagai penanggung jawab program, "kapan" (when)
kegiatan akan selesai. Dalam model CIPP, evaluasi proses diarahkan pada
seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan di dalam program sudah terlaksana
sesuai dengan rencana. Oleh Stufflebeam (dalam Arikunto, 2004), mengusulkan
pertanyaan untuk proses antara lain sebagai berikut:
a. Apakah
pelaksanaan program sesuai dengan jadwal.
b. Apakah
yang terlibat dalam pelaksanaan program akan sanggup menangani kegiatan selama
program berlangsung ?
c. Apakah
sarana dan prasarana yang disediakan dimanfaatkan secara maksimal?
d. Hambatan-hambatan
apa saja yang dijumpai selama pelaksanaan program?
4) Evaluasi
pada produk atau hasil
Evaluasi produk diarahkan pada hal-hal yang
menunjukkan perubahan yang terjadi pada masukan mentah. Pertanyaan-pertanyaan
yang bisa diajukan antara lain:
a. Apakah
tujuan-tujuan yang ditetapkan sudah tercapai?
b. Apakah
kebutuhan peserta didik sudah dapat dipenuhi selama proses belajar mengajar?
7. Model
Evaluasi Adversari ( Adversary Evaluation Model )l dikembangkan oleh T.R Owen
Secara
umum Model Evaluasi Adversari dilakukan melalui aktivitas sebagai berikut :
1. Membentuk dua atau lebih Tim Evaluator yang
independen
2. Melakukan evaluasi
3. Merumuskan hasil evaluasi
4. Dengar pendapat
5. Keputusan mengenai program
8. Discrepancy
Model (dikembangkan oleh Malcom
Provus).
Provus mendefinisikan evaluasi sebagai alat untuk membuat pertimbangan
(judgement) atas kekurangan dan kelebihan suatu objek berdasarkan diantara
standar dan kinerja. Model ini juga dianggap menggunakan pendekatan formatif
dan berorientasi pada analisis system. Standar dapat diukur dengan menjawab
pertanyaan bagaimana program berjalan. Sementara pencapaiannya ada;ah lebih
kepada apakah yang sebenarnya terjadi. Evaluator hanya boleh membantu dengan
membentuk dan menjelaskan peranan standar dan pencapaian.
Dalam model evaluasi ini, kebanyakan informasi yang diperoleh berbeda dan
dikumpulkan dengan beberapa cara, yaitu (Azizi, 2008):
1) Merencanakan
bentuk penilaian, menentukan kemantapan suatu program.
2) Penilaian
input, bertujuan membantu pihak pengurus dengan memastikan sumber yang
diperlukan mencukupi.
3) Proses
penilaian, memastikan aktivitas yang dirancang berjalan dengan lancer dan
memiliki mutu seperti yang diharapkan.
4) Penilaian
hasil, judgement di tahap pencapaian suatu hasil yang direncanakan.
Menurut Provus evaluasi adalah untuk membangun dan
affirmatif, tidak untuk menghakimi. Model Evaluasi Discrepancy/
Pertentangan ( Provus, 1971) adalah suatu model evaluasi program yang
menekankan pentingnya pemahaman sistem sebelum evaluasi. Kapan saja kita sedang
mencoba untuk mengevaluasi sesuatu, ditekankan bahwa kita harus mempunyai
pemahaman tepat dan jelas atas hal yang dievaluasi, untuk menetapkan standar.
Model ini merupakan suatu prosedur problem-solving
untuk mengidentifikasi kelemahan (termasuk dalam pemilihan standar) dan untuk mengambil
tindakan korektif. Di dalam kasus suatu sistem yang kompleks seperti suatu
proyek, obyek evaluasi bisa belum jelas dan sukar untuk dipahami. Klarifikasi
obyek evaluasi obyek adalah sangat perlu untuk membuat evaluasi terlaksana.
Dengan model ini, proses evaluasi pada
langkah-langkah dan isi kategori sebagai cara memfasilitasi perbandingan
capaian program dengan standar, sementara pada waktu yang sama mengidentifikasi
standar untuk digunakan untuk perbandingan di masa depan. Argumentasi
Provus, bahwa semua program memiliki daur hidup (life
cycle). Karena program terdiri atas langkah-langkah pengembangan,
aktivitas evaluasi banyak diartikan adanya integrasi pada masing-masing
komponennya.
1. Dalam definition stage (tahap definisi), staf program
mengorganisir a) gambaran tujuan, proses, atau aktivitas dan kemudian b)
menggambarkan sumber daya yang diperlukankan. Harapan atau standar ini adalah
dasar dimana evaluasi berkelanjutan tergantung.
2. Dalam installation stage
(langkah instalasi), desain/ definisi program menjadi standar baku untuk
diperbandingkan dengan penilaian operasi awal program. Gagasannya adalah untuk
menentukan sama dan sebangun, sudah atau tidaknya program telah diterapkan
sebagaimana desainnya.
3. Dalam product
stage (tahap proses), evaluasi ditandai dengan pengumpulan data untuk
menjaga keterlaksanaan program. Gagasannya adalah untuk memperhatikan kemajuan
kemudian menentukan dampak awal, pengaruh, atau efek.
4. Dalam product stage
(tahap produk), pengumpulan data dan analisa yang membantu ke arah penentuan
tingkat capaian sasaran dari outcome. Dalam tahap 4 ini pertanyaannya
adalah “Apakah sasaran program telah dicapai?" Harapannya adalah untuk
merencanakan follow up jangka panjang pemahaman atas dampak.
5. (optional)
tahap cost-benefit menunjukkan peluang untuk membandingkan hasil dengan
yang dicapai oleh pendekatan lain yang serupa.
Pada masing-masing empat tahap perbandingan standard dengan capaian program
untuk menentukan bila ada pertentangan. Penggunaan informasi pertentangan selalu
mengarah pada satu dari empat pilihan:
1. Dilanjutkan
ke tahap berikutnya bila tidak ada pertentangan.
2. Jika
terdapat pertentangan, kembali mengulang tahap yang ada setelah merubah standar
program.
3. Jika
tahap 2 tidak bisa terpenuhi, kemudian mendaur ulang kembali ke langkah 1–
tahap definisi program, untuk menggambarkan kembali program tersebut, kemudian
memulai evaluasi pertentangan lagi pada tahap 1.
4. Jika
tahap 3 tidak bisa terpenuhi pilihannya adalah mengakhiri program.
9. Model
Evaluasi Sistem Analisis ( Analisis Evaluation Model )
Untuk memahami model evaluasi ini
terlebih dahulu perlu memahami teori sistem. Dalam Evaluasi Sistem Analisis terdapat empat
jenis evaluasi yaitu :
- Evaluasi masukkan ( Input evaluation )
- Evaluasi Proses ( Process evaluation )
- Evaluasi keluaran ( Output Evaluation )
- Evaluasi akibat ( Outcome evaluation )
- Evaluasi pengaruh ( Impact evaluation )
10. Model Evaluasi Benchmarking ( Bangku Ular )
Benchmaking adalah suatu proses
mengevaluasi dan membandingkan objek bencmarking ;
produk, biayasiklus,waktu
produktivitas,kualitas proses khusus,tenaga atau metode suatu
organisasi lainnya yang dianggapsebagai
suatu standar industri atau praktik yang terbaik
suatu industri.
11. Model
Evaluasi Kotak Hitam ( Black Box Evaluation Model )
Black
Box Evaluation Model sangat menolong para konsumen dalam membeli produk barang
dan jasa . Konsumen sudah mempunyai informasi untuk mengambil keputusan
mengenai barang dan jasa sebelum membeli barang dan jasa yag diperlukannya..
12. Model
Evaluasi Konosursip dan Kritikisme ( Connoissership and Critic Evoluation Model)
dikemukakan E.W Eisner ( 1975 )
Istilah konosur telah lama dipakai untuk
keahlian dan penilaan. Di bidangp roduk tertentu.Di dalam bidang pendidikan,
istilah konoser diterapkan misalnya dalam bidang kurikulum pendidikan. Berbagai
program pendidikan memerlukan kurikulum
yang sesuai dengan tujuan program pendidikan tersebut.
13. Model
Evaluasi Terfokus Utilisasi ( Utilization-focused evoluation ) dikembangkan
oleh
Michael
Quinn (1997; 2022 )
Utilisasi evaluasi artinya : pemakaian
evaluasi untuk pengambilan keputusan
oleh orang atau lembaga yang dituju oleh
evaluasi.
14. Akreditasi
Akreditasi adalah evaluasi proses menilai
lembaga yang menyajikan jasa apakah sesuai dengan standar yang telah
ditentukan. Sehingga tujua dari akreditasi adalah untuk melindungi pemakai jasa
mendapatkan layanan jasa yang
dibutuhkannya dengan baik.
15. Theory-driven Evoluation Model (
Theory-driven-evoluation ) dipelopori oleh
Peter
Rossi,Huey Tsyh Chen
Teori ini disusun berdasarkan asumsi bahwa intervensi program
harus diekspresikan berdasarkan hubungan kausal atau teori program.
16. Model Evaluasi Semu
Evaluasi semu termotivasi oleh tujuan politik baik baik
berdasarkan politik organisasi atau politik pemegang kekuasan organisasi.
BAB III
MODEL EVALUASI RESPONSIF
Model Evaluasi Responsif
( Responsive evaluation model ) dikembangkan pada tahun 1975 oleh Robert Stake
(1975 ). Pada awalnya Stake menamai model evaluasi ini Contenance of Educational Evaluation – Daniel L.
Stufflebeam dan Anthony J. Shinfield ( 1985 ) memberi nama model ini sebagai
Client Centred Evaluation atau evaluasi berpusat pada klien.
Menurut Stake evaluasi disebut responsif jika memenuhi 3 kriteria
- Lebih berorientasi secara langsung kepada aktivitas program dari pada tujuan program
- Merespon kepada persyaratan kebutuhan informasi dari audiens
- Perrspektif nilai-nilai yang berbeda dari orang-orang yang dilayani dilaporkan dalam kesuksesan dan kegagalan dari program
Menurut Stake, evaluator pendidikan harus bekerja
untuk dan mendapatkan dukungan para pendidik yang menyajikan layanan
pendidikan. Evaluator melayani berbagai jenis klien termasuk para guru, para
administrator sekolah, pengembang kurikulum, pembayar pajak,para legislador,
sponsor finansial dan masyarakat umumnya yang sering mempunyai perbedaan
kebutuhan. Para evaluator harus berinteraksi secara terus menerus untuk
merespon kebutuhan para kliennya. Ia mengkritik model evaluasi berbasis tujuan
yang diberinya lebel sebagai evaluasi preordinat, yaitu evaluasi yang sudah
ditentukan sebelumnya
Daniel
L. Stufflebeam dan Anthony J.Shinnfield (1985 ) mengemukakan pola pikir Stake
mengenai evaluasi :
- Evaluasi harus membantu audiens untuk melihat dan memperbaiki apa yang mereka lakukan karenanya disebut sebagai evaluasi berpusat pada klien
- Para evaluator harus melukiskan program-program dalam kaitan dengan factor-faktor yang mendahului,transaksi dan manfaat evaluasi.
- Yang harus diteliti dalam evaluasi antara lain efek sampingan,pencapaian insidensial, dan manfaat dari program
- Para evaluator harus menghindari membuat kesimpulan akhir sumatif,ia harus mengumpulkan, menganalisis, dan merefleksikan penilaian berbagai pemangku kepentingan yang mempunyai minat terhadap obyek evaluasi
Langkah-langkah proses evaluasi adalah sebagai
berikut:
- Evaluator mengidentifikasi jenis dan jumlah setiap pemangku kepentingan ( respondent )
- Melakukan dengar pendapat dengan pemangku kepentingan
- Menyusun proposal evaluasi
- Melaksanakan evaluasi
- Membahas hasil evaluasi dengan para pemangku kepentingan
- Pemanfaatan hasil evaluasi.
Penilaian itu dapat berarti
bila dapat mencari pengertian suatu isu
dari berbagai sudut pandangan dari semua orang yang terlibat, yang berminat dan
yang berkepentingan dengan program .Evaluator tak percaya ada satu jawaban
untuk suatu evaluasi program yang dapat ditemukan dengan memakai tes, kuidioner dan analisi statistik. Setiap
orang yang dipengaruhi oleh program merasakannya secara unik, dan evaluator
menolong menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan melukiskannya atau
menguraikannya kenyataan melalui orang-orang terrsebut.. Tujuan evaluator
adalah berusaha mengerti urusan program melaluiberbagai sudut pandang yang
berbeda.
Evaluasi responsif
ditandai ciri-ciri penelitian yang kualitatif , naturalistic. Evaluator
mengandalkan observasi langsung dan tidak langsung terhadap kejadian dan
interpretasi data yang impresionistik. Evaluator mencoba responsif terhadap
orang-orang yang berkepentingan pada hasil evaluasi. Evaluator bukan berarti
menghindari pengukuran dan tehnik analisis sama sekali tetapi tes
tradicional dan instruyen menjadi
pertimbangan kedua.
Kelebihannya adalah
bahwa ada kepekaan terhadap berbagai titik pandangan , dan kemampuannya
mengakomodasi pendapat . Pendekatan responsif dapat beroperasi pada situasi
yang terdapat banyak perbedaan minat dan kelompok yang berbeda-beda.
Keterbatasannya adalah sukar untuk membuat prioritas, atau penyederhanaan
informasi untuk pemegang keputusan dan kenyataan yang praktis tidak mungkin
menampung semua sudut pandang dari berbagai kelompok.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Untuk meningkatkan mutu pembelajaran
dibutuhkan sistem evaluasi yang tepat, karena peserta didik memiliki berbagai kemampuan yang
berbeda-beda maka sistem evaluasi yang digunakan harus terintegrasi dan mampu
mengukur semua kemampuan yang ada pada peserta didik.
Evaluasi pendidikan tidak hanya digunakan untuk mengukur
ranah kognitif peserta didik saja. Adapun ranah yang diukur dengan menggunakan
nontes ini adalah kognitif, psikomotorik, perseptual, komunikasi nondiskursip,
dan ranah afektif.
Dalam evaluasi pendidikan Ada
empat komponen yang saling terkait dan merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan yaitu:
1. Evaluasi
2. Penilaian
3. Pengukuran
4. Tes dan non tes
Evaluator
pendidikan harus bekerja untuk dan mendapatkan dukungan para pendidik yang
menyajikan layanan pendidikan. Evaluator melayani berbagai jenis klien termasuk para guru, para administrator
sekolah, pengembang kurikulum, pembayar pajak,para legislador, sponsor
finansial dan masyarakat umumnya yang sering mempunyai perbedaan kebutuhan.
Pendekatan responsif
dapat beroperasi pada situasi yang terdapat banyak perbedaan minat dan kelompok
yang berbeda-beda.
DAFTAR
PUSTAKA
Wirawan,Dr, Evaluasi teori,model,standar,aplikasi dan profesi, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Wibowo Samudra, Cs, 1994, Evaluasi
Kebijakan Publik, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
William N Dunn, 2003, Pengantar Analisis
Kebijakan Publik, Edisi Kedua, Gajah
Mada University Press, Jogjakarta.
Winarno, Budi, 2004, Teori dan Proses
Kebijakan Publik, Edisi/Cetakan Kedua,
Media Pressindo, Jogjakarta.
---------,2001, Analisis Kebijakan dari
Formulasi ke Implementasi Kebijakan
Negara, Edisi Kedua,, Bumi Aksara, Jakarta.
--------,2003,
Undang-undang Repubik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, Sistim
Pendidikan Nasional, Jakarta..
Perumusan, Implementasi
dan Evaluasi, PT Elex Media
Komputindo, Gramedia,
Jakarta.
--------,2006, Metodologi
Penelitian Kualitatif, Pustaka Cakra Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar