BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pada zaman pasca modern atau globalisasi
sekarang ini, sebagian manusia cenderung mengutamakan kesejahteraan materi
dibandingkan kesejahteraan rohani, bidang ekonomi menjadi perhatian yang sangat
besar, tidak banyak orang yang mementingkan peningkatan spiritual. Kecendrungan
tersebut di atas sangat dipengaruhi oleh perkembangan budaya terutama dalam
bidang teknologi, kesenian, dan pariwisata serta ekonomi, berbagai produk baru
yang semakin canggih ditawarkan, dan hal-hal yang lain yang berkenaan dengan
perekonomian sehingga situasi seperti ini membuat kebanyakan orang berusaha
mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya.
Masalah pendidikan
sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari masalah ekonomi. Baik secara langsung
maupun tidak langsung, kontribusi pendidikan terhadap ekonomi dan pembangunan
harus diakui. Dengan demikian, tidak
selamanya pendidikan dianggap sebagai konsumsi atau pembiayaan. Sudah saatnya
pendidikan harus dipandang sebagai investasi, yang secara jangka panjang
kontribusinya dapat dirasakan.
Suatu
lembaga akan dapat berfungsi dengan baik jika memiliki sistem manajemen yang
didukung oleh SDM, dana dan sarana-prasarana. Sekolah sebagai satuan pendidikan
juga harus memiliki tenaga (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, tenaga
administratif, laboran, pustakawan, dan teknisi sumber belajar), sarana dan
prasarana, serta biaya yang mencakup biaya investasi (biaya untuk keperluan
pengadaan tanah, pengadaan bangunan, alat pendidikan, termasuk buku-buku dan
biaya operasional, baik untuk personil maupun nonpersonil). Biaya untuk
personil antara lain untuk kesejahteraan dan pengembangan profesi, sedangkan
untuk biaya nonpersonil berupa pengadaan bahan dan ATK, pemeliharaan dan untuk kegiatan
pembelajaran.
Suatu
sekolah untuk memiliki tenaga kependidikan yang berkualitas dengan jumlah yang
mencukupi kebutuhan memerlukan biaya rekruitmen, penempatan, penggajian,
pendidikan dan latihan, serta mutasi. Dalam usaha pengadaan sarana dan
prasarana untuk menunjang proses pembelajaran tentu saja diperlukan dana yang
tidak sedikit, bahkan setelah diadakan maka diperlukan dana untuk perawatan,
pemeliharaan, dan pendayagunaannya. Meskipun ada tenaga, ada sarana dan
prasarana, untuk memanfaatkan dan mendayagunakan secara optimal perlu biaya
operasional baik untuk bahan dan ATK habis pakai, biaya pemeliharaan, maupun
pengembangan personil agar menguasai kompetensi yang dipersyaratkan. Dari
uraian di atas jelas bahwa untuk penyelenggaraan pendidikan di sekolah tentu
saja sangat memerlukan biaya dalam setiap kegiatannya.
Biaya
pendidikan merupakan komponen sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan.
Dapat dikatakan bahwa proses pendidikan tidak dapat berjalan tanpa adanya dukungan biaya. Dalam konteks
perencaaan pendidikan, pemahaman tentang anatomi dan problematika pembiayaan
pendidikan sangat diperlukan. Berdasarkan pemahaman ini, dapat dikembangkan
kebijakan pembiayaan pendidikan yang lebih tepat dan adil serta mengarah pada
pencapaian tujuan pendidikan, baik tujuan yang bersifat kuantitatif maupun
kualitatif.
Pasal
46 Undang-Undang No.20 Tahun 2003, menyatakan pendanaan pendidikan menjadi
tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan
masyarakat . Terhadap pencapaian Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan
UNDP, menunjukan bahwa pembiayaan pendidikan di suatu Negara terbukti dapat
memberikan pengaruh sangat positif dan signifikan terhadap kinerja pendidikan
nasional. Dampak rendahnya anggaran pendidikan di Indonesia adalah tidak
meratanya kesempatan belajar bagi anak-anak Indonesia, khususnya anak-anak dari
keluarga miskin dan kurang mampu.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas , maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.
Bagaimana
efisiensi dan efektivitas pembiayaan pendidikan?
2.
Darimana
sumber-sumber biaya dan penggunaanya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Efisiensi dan Efektivitas Pembiayaan Pendidikan
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan
efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat
efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relatif terhadap harganya.
Dalam dunia pendidikan, suatu pendidikan yang efisien dan efektif cenderung
ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaan sumber-sumber pendidikan yang
sudah ditata secara efisien dengan pengelolaan yang efektif. Program pendidikan
yang efektif dan efisien adalah mampu menciptakan keseimbangan antara
penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan tercapai tujuan yang
tidak mengalami hambatan.
1. Efektivitas
Efektif adalah pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas tidak berhenti sampai tujuan tercapai tetapi sampai pada kualitatif hasil yang dikaitkan dengan pencapaian visi (characterized by qualitative outcomes). Manajemen pembiayaan dikatakan memenuhi prinsip efektif apabila kegiatan yang dilakukan dapat mengatur biaya aktivitas dalam rangka mencapai tujuan kualitatif outcomes sesuai dengan rencana yang ditetapkan. Efektivitas biaya adalah kemampuan mencapai sasaran dan target sesuai dengan yang direncanakan.
Efektif adalah pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas tidak berhenti sampai tujuan tercapai tetapi sampai pada kualitatif hasil yang dikaitkan dengan pencapaian visi (characterized by qualitative outcomes). Manajemen pembiayaan dikatakan memenuhi prinsip efektif apabila kegiatan yang dilakukan dapat mengatur biaya aktivitas dalam rangka mencapai tujuan kualitatif outcomes sesuai dengan rencana yang ditetapkan. Efektivitas biaya adalah kemampuan mencapai sasaran dan target sesuai dengan yang direncanakan.
Prinsip-prinsip untuk menilai efektivitas
adalah:
a. Menilai efektivitas yang berkaitan dengan
problem tujuan dan alat untuk memproses input menjadi output.
b. Sistem yang dibandingkan harus sama/ homogeny. Misalnya
tingkat pendidikan, kecakapan, sosial ekonomi dan sebagainya.
c. Mempertimbangkan semua output. Misal jumlah siswa lulus dan kualitas
kelulusan.
d. Korelasi diharapkan bersifat kualitas, hubungan antara alat proses
dan output harus berkualitas.
2. Efisiensi
Efisiensi adalah kemampuan menggunakan biaya dengan baik dan tepat. Pembiayaan dikatakan efisien manakala pencapaian sasaran atau target diperoleh dengan pengorbanan yang lebih kecil atau dengan biaya yang minimum.
Efisiensi berkaitan dengan kuantitas hasil suatu kegiatan. Efficiency “characterized by quantitif uotputs”. Efisiensi adalah perbandingan yang terbaik antara masukan (input) dan kuadran (out put) atau antara daya dan hasil. Daya yang dimaksud meliputi tenaga, pikiran, waktu, biaya, perbandingan tersebut dapat dilihat dari dua hal:
Efisiensi adalah kemampuan menggunakan biaya dengan baik dan tepat. Pembiayaan dikatakan efisien manakala pencapaian sasaran atau target diperoleh dengan pengorbanan yang lebih kecil atau dengan biaya yang minimum.
Efisiensi berkaitan dengan kuantitas hasil suatu kegiatan. Efficiency “characterized by quantitif uotputs”. Efisiensi adalah perbandingan yang terbaik antara masukan (input) dan kuadran (out put) atau antara daya dan hasil. Daya yang dimaksud meliputi tenaga, pikiran, waktu, biaya, perbandingan tersebut dapat dilihat dari dua hal:
a. Dilihat dari segi penggunaan waktu,
tenaga, dan biaya. Kegiatan ini dapat dikatan efisien kalau penggunaan waktu,
tenaga, dan biaya sekecil-kecilnya dapat mencapai hasil yang ditetapkan.
b. Dilihat dari segi hasil kegiatan dapat
dikatakan efisien kalau dengan penggunaan waktu, tenaga dan biaya tertentu
memberikan hasil sebanyak-banyaknya baik kuantitas maupun kualitasnya.
Tingkat efisiensi dan efektivitas yang
tinggi memungkinkan terselenggaranya pelayanan masyarakat secara memuaskan
dengan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab. Dalam
dunia pendidikan, terdapat beberapa model Pembiayaan:
1. Model Dana Bantuan Murni (Flat Grant Model). Merupakan uang
bantuan negara yang dibagikan pada sekolah di daerah tanpa memperhitungkan
pertimbangan kemampuan pembayaran pajak daerah setempat, yang didasarkan pada
jumlah siswa yang harus dididik.
2. Model Landasan Perencanaan (Foundation Plan Model)
Negara tanpa mempertimbangkan kekayaan & pajak daerah memberikan dana kepada daerah yang miskin lebih banyak untuk setiap siswanya dibandingkan dengan daerah yang makmur. Tujuannya adalah untuk menjaga sekolah dari kehancuran lebih parah (pada daerah yang miskin).
Negara tanpa mempertimbangkan kekayaan & pajak daerah memberikan dana kepada daerah yang miskin lebih banyak untuk setiap siswanya dibandingkan dengan daerah yang makmur. Tujuannya adalah untuk menjaga sekolah dari kehancuran lebih parah (pada daerah yang miskin).
3. Model Perencanaan Pokok Jaminan Pajak (Guaranted Tax Base Plan)
Model ini dibatasi dengan menentukan penafsiran penilaian per siswa yang menjadi jaminan negara diperuntukkan bagi wilayah sekolah setempat. Bantuan negara menjadi berbeda antara apa yang diterima daerah per-siswa dengan jaminan negara per-siswa. Pembagian presentasenya sangat tinggi di sekolah distrik yang miskin, dan rendah di sekolah distrik yang kaya/ sejahtera.
Model ini dibatasi dengan menentukan penafsiran penilaian per siswa yang menjadi jaminan negara diperuntukkan bagi wilayah sekolah setempat. Bantuan negara menjadi berbeda antara apa yang diterima daerah per-siswa dengan jaminan negara per-siswa. Pembagian presentasenya sangat tinggi di sekolah distrik yang miskin, dan rendah di sekolah distrik yang kaya/ sejahtera.
4. Model Persamaan Persentase (Persentage Equalizing Model)
Model ini dikembangkan tahun 1920-an, lebih banyak memberikan sumbangan yang dibutuhkan pada tiap murid & guru ke daerah-daerah yang kurang makmur. Dalam program yang sama, jumlah pembayaran yang disetujui dihitung bagi setiap siswa, tiap guru, atau bagian lain yang di butuhkan. Jumlah yang diperlukan berubah-ubah tiap bagian sesuai keperluan.
Model ini dikembangkan tahun 1920-an, lebih banyak memberikan sumbangan yang dibutuhkan pada tiap murid & guru ke daerah-daerah yang kurang makmur. Dalam program yang sama, jumlah pembayaran yang disetujui dihitung bagi setiap siswa, tiap guru, atau bagian lain yang di butuhkan. Jumlah yang diperlukan berubah-ubah tiap bagian sesuai keperluan.
5. Model Perencanaan Persamaan Kemampuan (Power Equalizing Plan)
Model ini menghendaki distrik yang kaya membayar pajak sekolah yang dikumpulkan kembali ke negara. Selanjutnya negara menggunakan uang dari sekolah distrik yang kaya itu untuk meningkatkan bantuan sekolah pada distrik yang lebih miskin.
Model ini menghendaki distrik yang kaya membayar pajak sekolah yang dikumpulkan kembali ke negara. Selanjutnya negara menggunakan uang dari sekolah distrik yang kaya itu untuk meningkatkan bantuan sekolah pada distrik yang lebih miskin.
6. Model Pendanaan Negara Sepenuhnya (Full State Funding Model)
Model ini merupakan rencana yang dirancang untuk mengeliminir perbedaan local dalam hal pembelanjaan dan perpajakan. Pendanaan sekolah akan dikumpulkan ditingkat negara dan diberikan ke sekolah distrik dengan dasar yang sama. Asas keadilan tentang perlakuan terhadap siswa dan pembayar pajak, serta pembiayaan pendidikan berdasarkan tingkat kekayaan yang dimiliki. Untuk menghindari banyaknya anak pada masyarakat miskin meninggalkan pendidikan sehingga muncul masalah pengangguran dan kesejahteraan bagi generasi penerusnya.
Model ini merupakan rencana yang dirancang untuk mengeliminir perbedaan local dalam hal pembelanjaan dan perpajakan. Pendanaan sekolah akan dikumpulkan ditingkat negara dan diberikan ke sekolah distrik dengan dasar yang sama. Asas keadilan tentang perlakuan terhadap siswa dan pembayar pajak, serta pembiayaan pendidikan berdasarkan tingkat kekayaan yang dimiliki. Untuk menghindari banyaknya anak pada masyarakat miskin meninggalkan pendidikan sehingga muncul masalah pengangguran dan kesejahteraan bagi generasi penerusnya.
7. Model Sumber Pembiayaan (The Resources Cost Model)
Model ini dikembangkan Hambers dan Parrish yang menyediakan suatu proses penentuan pembiayaan pendidikan yang mencerminkan kebutuhan berbeda dari kondisi ekonomi di setiap daerah. Model ini tidak bersangkutan dengan pendapatan pajak maupun kekayaan suatu daerah.
Model ini dikembangkan Hambers dan Parrish yang menyediakan suatu proses penentuan pembiayaan pendidikan yang mencerminkan kebutuhan berbeda dari kondisi ekonomi di setiap daerah. Model ini tidak bersangkutan dengan pendapatan pajak maupun kekayaan suatu daerah.
8. Model Surat
Bukti/ Penerimaan (Models of Choice and
Voucher Plans)
Model ini memberikan dana untuk pendidikan langsung kepada individu atau institusi rumah tangga berdasarkan permintaan pendidikan. Mereka diberikan surat bukti penerimaan dana untuk bersekolah melalui sistem voucher yang mencerminkan subsidi langsung kepada pihak yang membutuhkan yaitu murid.
Model ini memberikan dana untuk pendidikan langsung kepada individu atau institusi rumah tangga berdasarkan permintaan pendidikan. Mereka diberikan surat bukti penerimaan dana untuk bersekolah melalui sistem voucher yang mencerminkan subsidi langsung kepada pihak yang membutuhkan yaitu murid.
9. Model Rencana Bobot Siswa (Weight
Student Plan). Adalah model yang mempertimbangkan siswa-siswa berdasarkan
proporsinya. Contoh siswa yang cacat, siswa program kejuruan atau siswa yang
pandai dua bahasa.
10. Model Berdasarkan Pengalaman
(Historic Funding). Model ini sering
disebut Incrementalism, dimana biaya
yang diterima satu sekolah mengacu pada penerimaan tahun yang lalu, dengan
hanya penyesuaian.
11. Model Berdasarkan Usulan (Bidding Model). Model ini sekolah
mengajukan usulan pada sumber dana dengan berbagai acuan, kemudian sumber dana
meneliti usulan yang masuk, dan menyesuaikan dengan kriteria.
12. Model Berdasarkan Kebijaksanaan (Descretion Model). Model ini penyandang
dana melakukan studi terlebih dahulu untuk mengetahui komponen-komponen apa
yang perlu dibantu berdasarkan prioritas pada suatu tempat dari hasil
eksplorasinya.
Dalam perkembangan perencanaan dan
penggunaan pembiayaan pendidikan dikenal model:
1. Model Sentralistik, model ini menggunakan
dua program yaitu pembangunan dan rutin.
2. Model Desentralisasi. Perencanaan
pembiayaan dilakukan di tingkat pusat dan daerah.
Bentuk-bentuk dana pusat dan daerah:
1. Dana alokasi umum bersifat Blok Grant
untuk mengatasi masalah ketimpang horizontal.
2. Dana bagi hasil dana pertimbangan untuk
mengetasi masalah ketimpangan vertical.
3. Dana alokasi khusus sifatnya khusus atau
Spesific Grant untuk memenuhi biaya khusus
4. Dana kontijensi adalah dana bantuan bagi
daerah yang kekurangan anggaran dari DAU dan bagi hasil.
·
Gaji
pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji.
·
Bahan
atau peralatan pendidikan habis pakai.
·
Biaya
operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi,
pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak,
asuransi, dan lain sebagainya.
Biaya dan ekonomi pendidikan merupakan komponen yang
sagat penting dalam penyelenggarakan pendidikan. Dapat dikatakan bahwa proses
pendidikan tidak dapat berjalan tanpa adanya dukungan biaya. dalam konteks
perencanaan pendidikan pembiayaan pendidikan baik pada tingkat makro maupun
pada tingkat mikro sangatlah di perlukan, berdasarkan pemahaman ini, dapatlah
di kembangkan kebijakan pembiayaan pendidikan yang lebih tepat serta mengarah
pada pencapaian tujuan.
Pada era otonomi sekarang ini, alokasi dana atau
perhatian dari pemerintah sudah dirasakan cukup. Namun, masih banyak
persoalan-persoalan pendidikan lainnya yang turut mempengaruhi kualitas
pendidikan di Indonesia saat ini. Perhatian di bidang pendidikan moral
merupakan suatu hal yang sangat penting. Karena dengan moral yang tinggi, suatu
bangsa akan dapat membangun dirinya ke arah yang lebih baik dan sesuai dengan
harapan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Masalah pembiayaan harus di pecahan
secara bersama, jika ingin mendapatkan peluang yang maksimal bagi semua
penyelenggara pendidikan agar dapat berkembang. Pembiayaan mandiri merupakan
cara pemecahan yang sangat hakiki bagi penyelenggara pendidikan yang
benar-benar ingin berkembang dan keluar dari masalah pembiayaan. Jika berkaitan
dengan masalah pendanaan, maka sebaiknya menggunakan sistem manajemen terbuka
agar semua keadaan lembaga pendidikan yang baik dan buruk dapat diketahui
dengan cepat dan dapat dicari solusi terbaik
B.
Saran
Sumber pembiayaan pendidikan yang
melimpah tidak menjadi jaminan bagi peningkatan mutu. Jika penggunaan dana
tidak direncanakan, salah sasaran, salah pengelolaan, tidak ada pengawasan,
akuntabilitas rendah, sanksi yang tidak tegas yang diberikan bagi penyeleweng,
ketimpangan dalam dunia pendidikan akan selalu terjadi yang mengakibatkan tidak
tepatnya sasaran pendidikan. Karena itu, pendidikan moral dirasakan sangat
penting ditanamkan guna menghindari penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan
pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous.
2009. Sekilas tentang qanun penyelenggaraan pendidikan di Aceh. http://www.idlo.org/docNews/308DOC1.pdf.
Arifin,
Anwar. 2006. Format Baru Pengelolaan Pendidikan. Jakarta:
Pustaka Indonesia.
Aswandi.2009.
Mahalnya
Biaya Pendidikan. http://dian-manajemenpendidikan.
blogspot.com/2009/05/mahalnya-biaya-pendidikan atau-biaya.html.
Fattah,
Nanang. 2004. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Hamadah,
Zulfiah. 2003. Sumber-Sumber, Efisiensi dan Efektivitas pembiayaan Pendidikan.
Hasbullah.
2007. Otonomi Pendidikan. Jakarta:
PT. RjaGrafindo Persada.
Kotler, Philip and Karen F.A.
Fox. 1985. Strategic Marketing for Educational Institutions. New Jersey: Prentice-Hall,
Inc.
Mulyasa,
E. 2004. Manajemen Berbasis sekolah. Bandung: PT. Remaja Rodakarya.
Mutrofin
(1996). Pendidikan, Ekonomi dan SDM Produktif Transformasi
Pendidikan di Indonesia dan Tantangannya di masa depan. Jakarta: IKIP
Muhammadiyah Jakarta Press.
Ruslan,
Agus. Dana Pendidikan Si Amerika Serikat. http://re-searchengines.com/agusruslan2-6-07-3.html
Samroni,
Imam. 2009. Mewaspadai inflasi biaya pendidikan. http://imamsamroni.wordpress.com/2009/08/31/mewaspadai-inflasi-biaya-pendidikan/.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
2006. UU RI No. 20 Tahun 2003. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar