MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
(MBS)
BAB
I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Sekolah adalah salah satu dari Tripusat pendidikan
yang dituntut untuk mampu menjadikan output yang unggul, mengutip pendapat
Gorton tentang sekolah ia mengemukakan, bahwa sekolah adalah suatu sistem
organisasi, di mana terdapat sejumlah orang yang bekerja sama dalam rangka
mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai tujuan instruksional.
Desain organisasi sekolah adalah di dalamnya
terdapat tim administrasi sekolah yang terdiri dari sekelompok orang yang
bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan oranisasi.
MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda,
yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri
sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site
management atau manajemen yang bermarkas di sekolah.
Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian
dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh
yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam
pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3M-nya, yakni
man, money, dan material.
Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini
diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu
pendidikan. Oleh karena itu, maka Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS
sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan rosedur
kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi
individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat
mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan
tenaga-tenaga pembangunan.
Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis
tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. sekolah adalah
bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah
dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada
masyarakat, sekolah adlah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota2
masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarkat saling
berkolerasi, keduanya saling membutuhkan, Masyarakat adalah pemilik sekolah,
sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.
Batasan masalah :
1. Apa itu Manajemen
Sekolah
2. Apa yang dimaksud
dengan manajemen berbasis sekolah (MBS)
3. Apa manfaat
manajemen berbasis sekolah (MBS)
4.
Apa Pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat (Depdiknas),
dinas pendidikan daerah, dan dewan sekolah?
5. Apa Syarat Penerapan
manajemen berbasis sekolah (MBS)
6. Apa karakteristik
manajemen berbasis sekolah (MBS)
7. Manajemen berbasis
sekolah (MBS) sebagai proses Pemberdayaan
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Manajemen Sekolah
Istilah manajemen
sekolah acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan
dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi
lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi);
kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi ( administrasi
merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen
identik dengan administrasi.
Dalam makalah ini,
istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan,
yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal
maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan
pendidikan di sekolah secara optimal.
Berdasarkan fungsi
pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu:
1. merencanakan
(planning),
2. mengorganisasikan
(organizing),
3. mengarahkan (directing),
4. mengkoordinasikan
(coordinating),
5. mengawasi (controlling),
dan
6. mengevaluasi (evaluation).
Menurut Gaffar (1989)
mengemukakan bahwa manjemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses
kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan
tujuan pendidikan nasional.
2. Manajemen berbasis sekolah
Sejak beberapa waktu
terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang
diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau
disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini
sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of
School Administrators, National Association of Elementary School Principals,
and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen
berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya
gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan
pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk
dapat mengelola sekolah secara mandiri.
Umumnya dipandang bahwa
para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan
berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai
pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan
kreativitas berinovasi.
Di Indonesia, gagasan
penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi
daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah
hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan
urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki
banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua
kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di
tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya
menerima apa adanya.
Apa saja muatan
kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru
harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran
birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian.
Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah
menyusut lebih dari separuhnya.
Kita khawatir, jangan-jangan selama ini
lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama
sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang
paling operasional, sekolah.
MBS adalah upaya serius
yang rumit, yang memunculkan berbagai isyu kebijakan dan melibatkan banyak lini
kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas
atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat
perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam
penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar
murid.
Manajemen berbasis
sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan
tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan
terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat
terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya
pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah.
Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan
berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala
keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan
ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan
sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen berbasis
sekolah telah dilembagakan di tempat-tempat
seperti Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih
dari satu dekade. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di
beberapa sistem sekolah yang besar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana
terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu dekade. Praktik manajemen
berbasis sekolah di tempat-tempat ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur.
Satu indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah
diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan dari Negara APEC di Chili
pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu
jejaring 21 negara yang mengandung sepertiga dari populasi dunia. Tema dari
pertemuan adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari
empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan pada desentralisasi. Para menteri
sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu strategi
dalam reformasi pendidikan, tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi,
seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya
akan bervariasi di masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan tiap-tiap
setting.
Manajemen berbasis
sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia
telah diimplementasikan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan berbeda dan
pada laju yang berbeda di tempat yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih
mendasar dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya
budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi.
Akan tetapi, alasan yang sama di seluruh tempat dimana manajemen berbasis
sekolah diimplementasikan adalah bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung
jawab di tingkat sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di
pusat untuk memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara.
Satu implikasi penting
adalah bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan
terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan mengambil
unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh
sekolah
3. Manfaat manajemen berbasis
sekolah (MBS
MBS dipandang sebagai
alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan
wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan
pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari
pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya
merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang
penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan
pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas
proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan
tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat
sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru,
orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu,
MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para
murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah
dengan memberdayakannya.
Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid
lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah
ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan
sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di
tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan
yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus
menerapkannya tidak berperanserta merencanakannya.
Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki
lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat.
Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis
dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang
tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan
semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua
variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi
belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan
mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi
beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut :
1.
Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan
yang akan meningkatkan pembelajaran.
2. Memberi
peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan
penting.
3. Mendorong munculnya kreativitas dalam
merancang bangun program pembelajaran.
4. Mengarahkan
kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
5. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih
realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah,
batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
6. Meningkatkan
motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
4. Pengaruh
penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat
(Depdiknas), dinas pendidikan daerah,
dan dewan Manajemen sekolah?
Penerapan MBS dalam sistem yang pemerintahan yang masih cenderung terpusat
tentulah akan banyak pengaruhnya. Perlu diingatkan bahwa penerapan MBS akan
sangat sulit jika para pejabat pusat dan daerah masih bertahan untuk
menggenggam sendiri kewenangan yang seharusnya didelegasikan ke sekolah. Bagi
para pejabat yang haus kekuasaan seperti itu, MBS adalah ancaman besar.
MBS menyebabkan pejabat pusat dan kepala dinas serta seluruh
jajarannya lebih banyak berperan sebagai fasilitator pengambilan keputusan di
tingkat sekolah. Pemerintah pusat, dalam rangka pemeliharaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, tentu saja masih menjalankan politik pendidikan secara
nasional. Pemerintah pusat menetapkan standar nasional pendidikan yang antara
lain mencakup standar kompetensi, standar fasilitas dan peralatan sekolah,
standar kepegawaian, standar kualifikasi guru, dan sebagainya. Penerapan
standar disesuaikan dengan keadaan daerah. Standar ini kemudian
dioperasionalkan oleh pemerintah daerah (dinas pendidikan) dengan melibatkan
sekolah-sekolah di daerahnya. Namun, pemerintah pusat dan daerah harus lebih
rela untuk memberi kesempatan bagi setiap sekolah yang telah siap untuk
menerapkannya secara kreatif dan inovatif. Jika tidak, sekolah akan tetap tidak
berdaya dan guru akan terpasung kreativitasnya untuk berinovasi. Pemerintah
harus mampu memberikan bantuan jika sekolah tertentu mengalami kesulitan
menerjemahkan visi pendidikan yang ditetapkan daerah menjadi program-program
pendidikan yang berkualitas tinggi. Pemerintah daerah juga masih bertanggung
jawab untuk menilai sekolah berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
Kita belum memiliki pengalaman dengan dewan sekolah, ada
rencana untuk mengadakan dewan pendididikan pada tingkat nasional, dewan
pendidikan pada tingkat daerah, dan dewan sekolah di setiap sekolah. Di Amerika
Serikat, dewan sekolah (di tingkat distrik) berfungsi untuk menyusun visi yang
jelas dan menetapkan kebijakan umum pendidikan bagi distrik yang bersangkutan
dan semua sekolah di dalamnya. MBS di Amerika Serikat tidak mengubah pengaturan
sistem sekolah, dan dewan sekolah masih memiliki kewenangan dengan berbagi
kewenangan itu. Namun, peran dewan sekolah tidak banyak berubah.
Dalam rangka penerapan MBS di Indonesia, kantor dinas
pendidikan kemungkinan besar akan terus berwenang merekrut pegawai potensial,
menyeleksi pelamar pekerjaan, dan memelihara informasi tentang pelamar yang
cakap bagi keperluan pengadaan pegawai di sekolah. Kantor dinas pendidikan juga
sedikit banyaknya masih menetapkan tujuan dan sasaran kurikulum serta hasil
yang diharapkan berdasarkan standar nasional yang ditetapkan pemerintah pusat,
sedangkan sekolah menentukan sendiri cara mencapai tujuan itu. Sebagian daerah
boleh jadi akan memberi kewenangan bagi sekolah untuk memilih sendiri bahan
pelajaran (buku misalnya), sementara sebagian yang lain mungkin akan masih
menetapkan sendiri buku pelajaran yang akan dipakai dan yang akan digunakan
seragam di semua sekolah.
Di Amerika Serikat, kebanyakan sekolah memiliki apa yang
disebut dewan manajemen sekolah (school management council). Dewan ini
beranggotakan kepala sekolah, wakil orang tua, wakil guru, dan di beberapa
tempat juga anggota masyarakat lainnya, staf administrasi, dan wakil murid.
Dewan ini melakukan analisis kebutuhan dan menyusun rencana tindakan yang
memuat tujuan dan sasaran terukur yang sejalan dengan kebijakan dewan sekolah
di tingkat distrik.
Di beberapa distrik, dewan manajemen sekolah mengambil semua
keputusan pada tingkat sekolah. Di sebagian distrik yang lain, dewan ini memberi
pendapat kepada kepala sekolah, yang kemudian memutuskannya. Kepala sekolah
memainkan peran yang besar dalam proses pengambilan keputusan, apakah sebagai
bagian dari sebuah tim atau sebagai pengambil keputusan akhir.
Dalam hampir semua model MBS, setiap sekolah memperoleh
anggaran pendidikan dalam jumlah tertentu yang dapat digunakan sesuai dengan
kebutuhan. Pemerintah daerah menentukan jumlah yang masuk akal anggaran total
yang diperlukan untuk pelaksanaan supervisi pendidikan di daerahnya, seperti biaya
administrasi dan transportasi dinas, dan mengalokasikan selebihnya ke setiap
sekolah. Alokasi ke setiap sekolah ini ditentukan berdasarkan formula yang
memperhitungkan jumlah dan jenis murid di setiap sekolah.
Setiap sekolah menentukan sendiri pengeluaran anggaran yang
dialokasikan kepada mereka untuk pembayaran gaji pegawai, peralatan, pasok, dan
pemeliharaan. Kemungkinan variasi penggunaan anggaran dalam setiap daerah dapat
terjadi dan tidak perlu disesalkan, karena seragam belum tentu bagus. Misalnya,
di sebagian daerah, sisa anggaran dapat ditambahkan ke anggaran tahun
berikutnya atau dialihkan ke program yang memerlukan dana lebih besar. Dengan
cara ini, didorong adanya perencanaan jangka panjang dan efisiensi.
5. Syarat Penerapan manajemen berbasis
sekolah (MBS)
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif
atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah
untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah.
Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran
dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala
sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan
standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap
sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik
kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah
menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”
Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika
kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik,
teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam
kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan
anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi
tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan
pelatihan kepemimpinan.
Dengan
kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut.
1.
MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
2.
MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
Kemungkinan diperlukan lima tahun
atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
3. Staf
sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat
yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran
komunikasi yang baru.
4. Harus
disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf
untuk bertemu secara teratur.
5. Pemerintah
pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan
kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang
tua murid.
6.
Hambatan Dalam Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak
berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut :
1) Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian
orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka
lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut
mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak
menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran.
Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa
untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan
berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya
untuk urusan itu.
2). Tidak Efisien
Pengambilan
keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi
dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para
anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada
tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3). Pikiran Kelompok
Setelah
beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan
semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan
saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan
anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat
dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit
“pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan
besar tidak lagi realistis.
4) Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak
yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum
berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka
kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat
MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi,
dan sebagainya.
5) Kebingungan Atas Peran dan
Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak
yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang
selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak
yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan
kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab
pengambilan keputusan.
6). Kesulitan Koordinasi
Setiap
penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan
adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam
akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama
sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan
sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani
sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang
MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada
semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami
apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa,
dan pada level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya
harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya
di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS
telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan
dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.
7. Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) yang berhubungan Prestasi Belajar Murid
MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk
meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan
yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara
demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan.
Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak
membuahkan hasil lebih baik.
Kita belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS
dengan prestasi belajar murid. Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests,
2002) upaya mengaitkan MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis.
Belum banyak penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini.
Selain itu, masih diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan
prestasi murid. Boleh jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi
prestasi itu setelah diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah
dengan tiadanya definisi standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak
selamanya mengindikasikan sejauhmana sekolah telah mendistribusikan kembali
wewenangnya.
Salah satu studi yang dilakukan yang menelaah ratusan dokumen
justru menunjukkan bahwa dalam banyak contoh, MBS tidak mencapai tujuan yang
ditetapkan. Studi itu menunjukkan bahwa peningkatan prestasi murid tampaknya
hanya terjadi di sejumlah sekolah yang dijadikan pilot studi dan dalam jangka
waktu tidak lama pula.
Hasil
MBS di daerah perkotaan masih belum jelas benar. Di sekolah di daerah pingiran
kota Maryland menunjukkan adanya peningkatan prestasi murid dalam skor tes
terutama di kalangan orang Amerika keturunan Afrika, setelah menerapkan lima
langkah rencana reformasi, termasuk MBS. Namun, di tempat lain, seperti Dade
County, Florida, setelah menerapkan MBS selama tiga tahun, prestasi murid di
sekolah-sekolah dalam kota justru menurun.
Meskipun peningkatan skor tes mungkin dapat dipakai sebagai
indikasi langsung kemampuan MBS meningkatkan prestasi belajar murid, cukup
banyak pula bukti tidak langsung. Misalnya, sudi kasus yang dilakukan terhadap
dua distrik sekolah di Kanada menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang
didesentralisasikan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih efektif. Salah
seorang guru memutuskan untuk mengurangi penggunaan mesin fotokopi agar dapat
mempekerjakan staf tambahan. Tinjauan tahunan sekolah menunjukkan bahwa
kepuasan murid sekolah menengah pertama dan lanjutan meningkat terhadap banyak
hal setelah diadakannya pembaruan. Para murid menunjukkan adanya peningkatan
dalam bidang-bidang penting seperti kegunaan dan efektivitas mata pelajaran dan
penekanan sekolah atas sejumlah kecakapan dasar.
Pengambilan keputusan bersama telah meningkatkan kejelasan
guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya meningkatkan
efektivitas pengajaran. MBS dipandang meningkatkan kepuasan kerja guru,
khususnya ketika para guru memainkan peranan yang lebih menentukan ketimbang
sekadar memberikan saran. Di Dade County, Florida, studi yang dilakukan
menunjukkan bahwa tiga tahun penerapan MBS memberi kontribusi pada terciptanya
lingkungan yang lebih nyaman dan lebih sedikit murid yang bermasalah.
Namun,
survei yang dilakukan di Chicago menunjukkan bahwa MBS tidak selamanya popular
di kalangan guru. Tiga perempat dari seratus orang guru yang disurvei
menyatakan bahwa reformasi desentralisasi sekolah di Chicago telah gagal
meningkatkan prestasi belajar murid, dan bahkan lebih banyak lagi responden
yang menyangkal bahwa perubahan itu telah meningkatkan motivasi guru.
Studi-studi terkini (Caldwell & Hayward, 1998; Caldwell
& Spinks, 1998; Fullan & Watson, 2000; Ouchi & Segal, 2003;
Volansky & Friedman, 2003) telah menggarisbawahi pentingnya pembuatan
keputusan setempat yang sejak awal tertuju pada belajar dan mengajar dan
dukungan terhadap belajar dan mengajar, terutama dalam membangun kapasitas staf
untuk mendesain dan menyampaikan kurikulum dan pembelajaran yang memenuhi
kebutuhan siswa, dengan memperhatikan prioritas kebutuhan setempat, termasuk
kemampuan mengidentifikasi kebutuhan dan memonitori keluaran. Juga terlihat
pentingnya membangun kapasitas masyarakat untuk mendukung upaya sekolah. Dengan
kata lain, penerapakn manajemen berbasis sekolah mungkin tidak berdampak pada
belajar kecuali aturan-aturan ini, yang secara umum disebut peningkatan
kapasitas dan pemanfaatan kapasitas, telah berhasil.
Di tingkat makro, studi internasional tentang prestasi siswa
seperti TIMSS dan TIMSS-R dan PISA dan PISA telah mengkonfirmasi pentingnya
keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi, dengan manajemen berbasis
sekolah relatif lebih tinggi sebagai satu unsur desentralisasi, termasuk
pembuatan keputusan lokal menyangkut masalah personel, profesionalisme,
monitoring keluaran, dan membangun dukungan masyarakat.
|
Hal-hal di atas mencerminkan pentingnya modal intelektual dan
modal sosial dalam membangun satu sistem sekolah yang mengelola diri sendiri.
(self-managing school). Membangun modal intelektual merupakan contoh
pengembangan kapasitas, yang dibahas lebih rinci pada proposisi 11. Modal
sosial merujuk pada membangun hubungan yang saling mendukung di antara sekolah,
rumah, masyarakat, lembaga keagamaan, dunia usaha dan industri, dan lembaga
lain di sektor publik dan swasta.
Pengalaman menunjukkan bahwa, batapapun kuatnya kehendak
strategis, diperluan waktu betahun-tahun agar pergeseran dalam keseimbangan
antara sentralisasi dan desentralisasi memungkinkan desentralisasi berdampak
pada keluaran. Ini merupakan pengesahan satu legislasi untuk pergeseran
kewenangan, otoritas, tanggung jawab, dan pengaruh dari satu tingkat ke tingkat
lain pergeseran itu merupakan perubahan dalam struktur. Pergeseran lain adalah
membangun kapasitas agar diperoleh dampak yang diharapkan dari belajar dan
mengubah kultur di semua tingkat.
Satu implikasi penting adalah, pemimpin sekolah harus
memastikan bahwa dia dan koleganya memperbarui pengetahuan tentang praktik yang
baik dalam peningkatan sekolah, dan bahwa membangun modal sosial dan
intelektual merupakan inti pekerjaan pemimpin senior di sekolah
Dalam praktik penerapannya di Amerika Serikat ada indikasi
bahwa banyak kelemahan MBS dikarenakan penerapannya yang tidak komprehensif;
artinya MBS diterapkan sepotong-sepotong. Para anggota dewan sekolah biasanya
dikendalikan oleh kepala sekolah, sedangkan pihak-pihak lain tidak banyak
berperan. Pola lama di mana administrator pendidikan menetapkan kebijakan, guru
mengajar, dan orang tua mendukung tampaknya masih dipertahankan. Pola yang
tertanam kuat ini sukar ditanggulangi. Apabila para anggota dewan tidak
disiapkan dengan baik, mereka seringkali sangat bingung dan cemas untuk
mengemban tanggung jawabnya yang baru.
Ada juga Tim MBS hanya berkonsentrasi pada hal-hal di luar
kegiatan pembelajaran. Pengamatan penerapan MBS menunjukkan bahwa dewan sekolah
cenderung memusatkan perhatian pada kegiatan-kegiatan-kegiatan seperti
penghargaan dan pendisiplinan murid
ketimbang pada pengajaran dan kurikulum. Selain itu, ada pula
indikasi bahwa MBS membuat kepala sekolah menjadi lebih berminat dengan hal-hal
teknis administratif dengan mengorbankan aspek pembelajaran. Dengan kata lain,
peran kepemimpinan pendidikannya diabaikan.
Namun, kekurangpedulian terhadap proses pembelajaran di dalam
kelas bukanlah penyakit bawaan MBS. Tim MBS tidak dapat dipersalahkan karena
tidak berhasil mendongkrak skor tes murid jika mereka tidak mendapat kewenangan
untuk melakukan hal itu. Misalnya, pengamatan di Chicago menunjukkan bahwa
wewenang pendidikan sebagian besar telah didelegasikan kepada orang tua dan
anggota masyarakat lainnya. Selain itu, tidaklah fair untuk mengharapkan adanya
dampak atas suatu reformasi pendidikan di daerah pinggiran kota besar yang
telah porak-poranda oleh seringnya terjadi kasus-kasus kebrutalan, kejahatan,
dan kemiskinan.
8. Bagaimana Agar MBS Meningkatkan
Prestasi Belajar ?
MBS tidak boleh dinyatakan gagal sebelum memperoleh
kesempatan yang adil untuk diterapkan. Banyak program yang tidak berkonsentrasi
pada prestasi pendidikan, dan banyak pula yang merupakan variasi dari model
hierarkis tradisional ketimbang penataan ulang wewenang pengambilan keputusan
secara aktual. Pengalaman penerapan di negara lain menunjukkan bahwa daerah
yang benar-benar mendelegasikan wewenang secara substansial kepada sekolah
cenderung memiliki pimpinan yang mendukung eksperimentasi dan yang memberdayakan
pihak lain. Ada indikasi bahwa pembaruan yang berhasil juga mengharuskan adanya
jaringan komunikasi, komitmen finansial terhadap pertumbuhan profesional,
dukungan dari semua komponan komunitas sekolah. Selain itu, pihak yang terlibat
harus benar-benar mau dan siap memikul peran dan tanggung jawab baru. Para guru
harus disiapkan memikul tanggung jawab dan menerima kewenangan untuk
berinisiatif meningkatkan pembelajaran dan bertanggung jawab atas kinerja
mereka.
Penerapan MBS yang efektif seyogyanya dapat mendorong kinerja
kepala sekolah dan guru yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi murid.
Oleh sebab itu, harus ada keyakinan bahwa MBS memang benar-benar akan
berkontribusi bagi peningkatan prestasi murid. Ukuran prestasi harus ditetapkan
multidimensional, jadi bukan hanya pada dimensi prestasi akademik. Dengan
taruhan seperti itu, daerah-daerah yang hanya menerapkan MBS sebagai mode akan
memiliki peluang yang kecil untuk berhasil.
Pertanyaannya, sudahkan daerah siap melaksanakan MBS? Penulis
khawatir tidak banyak daerah di Indonesia yang benar-benar siap menerapkan MBS.
Masih terlalu banyak hambatan yang harus ditanggulangi sebelum benar-benar
menetapkan MBS sebagai model untuk melakukan perubahan.
Manajemen berbasis sekolah telah menimbulkan perdebatan
karena berbagai kekuatan pendorong telah membentuk kebijakan, dan
kekuatan-kekuatan ini telah tercermin atau diduga mencerminkan preferensi
politik atau orientasi ideologi. Manajemen berbasis sekolah yang digerakkan
oleh kepedulian terhadap pemberdayaan masyarakat dan peningkatan profesi sering
diasosiasikan dengan pemerintahan Pusat. Manajemen berbasis sekolah telah
digerakkan oleh kepentingan untuk memberikan kebebasan yang lebih besar atau
lebih banyak diferensiasi sering diasosiasikan dengan pemerintahan Daerah,
Manajemen berbasis sekolah yang telah digerakkan, dimana manajemen berbasis
sekolah sering dipandang sebagai manifestasi dari upaya menciptakan satu pasar
di antara sekolah dalam sistem pendidikan umum.
Manajemen berbasis sekolah sering menimbulkan perdebatan pada
tahap-tahap awal pengadopsian, tetapi ia terus diterima setelah beberapa waktu,
sedemikian rupa sehingga hanya sedikit pemangku kepentingan ingin kembali pada
pendekatan yang lebih sentralistik dalam mengelola sekolah.
Akan tetapi ada pengecualian penting, terutama mengenai kasus
di Hong Kong – Cina. School Management Initiative (SMI) merupakan inisitatif
manajemen berbasis sekolah mulai awal 1990-an. Tetapi pelaksanaannya lambat,
terutama pada sektor yang dibantu, dimana banyak orang berpendapat bahwa SMI
menghambat ketimbang memberdayakan. Leung (2003) menyimpulkan bahwa “tujuan
reformasi desentralisasi oleh pemerintah adalah memperkuat kendali dan
memastikan mutu pendidikan melalui teknik-teknik manajemen. Yaitu bahwa ‘mutu’
diartikan dalam hal penggunaan sumber daya yang lebih efisien, asesmen keluaran
(outcome), indikator kinerja, dan evaluasi eksternal. Bukan pembagian
kewenangan ataupun pemberdayaan stakeholder menjadi tujuan”. Reformasi tetap
menjadi perdebatan di Hong Kong.
Dalam analisis terakhir, meskipun ada kekuatan pendorong yang
lain, kriteria kritis untuk menilai efektivitas reformasi yang mencakup
manajemen berbasis sekolah adalah sejauh mana manajemen berbasis sekolah
mengarah pada atau berhubungan dengan pencapaian hasil belajar yang membaik,
termasuk prestasi siswa ke tingkat yang lebih tinggi, bagaimana pun
mengukurnya.
Belakangan
banyak terjadi perubahan dalam pandangan bahwa tujuan utama manajemen berbasis
sekolah adalah peningkatan hasil pembelajaran, dan untuk alasan inilah,
kebanyakan pemerintahan memasukkan manajemen berbasis sekolah dalam kebijakan
bagi reformasi pendidikan.
Satu implikasi penting adalah bahwa pemimpin sekolah harus
memastikan bahwa perhatian masyarakat sekolah (termasuk tenaga kependidikan)
tidak hentinya difokuskan pada hasil belajar siswa, dan ini harus menjadi
kepedulian utama meskipun makna manajemen berbasis sekolah sangat sering
menimbulkan perdebatan.
Para
pengeritik sering mengutip temuan ini. Akan tetapi banyak dari penelitian
terdahulu hanya mengambil informasi atau opini dari sistem dimana dampak dari
keluaran tidak pernah menjadi tujaun utama, atau bahkan tujuan kedua.
Hal ini terutama berlaku bila manajemen berbasis sekolah
diimplementasikan sebagai satu strategi untuk membongkar birokrasi pusat yang
besar, mahal, dan tidak responsif atau sebagai satu strategi untuk
memberdayakan masyarakat dan profesional. Bahkan ketika dampak atas keluaran
menjadi tujuan utama, sulit menarik kesimpulan terhadap dampak karena database
tentang prestasi siswa lemah.
Satu telaah terhadap penelitian (Caldwell, 2002) menunjukkan
bahwa telah ada tiga generasi studi, dan justeru pada studi generasi ketiga
bahwa bukti dampak pada hasil ditemukan, tetapi hanya bila kondisi-kondisi
tertentu dipenuhi. Generasi pertama adalah saat di mana dampak atas hasil tidak
menjadi tujuan utama atau kedua. Generasi kedua adalah ketika dampak menjadi
tujuan utama atau kedua tetapi database lemah. Ketiga, muncul pada akhir
1990-an dan dengan mengumpulnya momentum awal 2000-an, yang berbarengan dengan
kepedulian terhadap hasil belajar dan pengembangan database yang kuat.
Satu implikasi penting adalah, para pemimpin sekolah harus
sadar bahwa manajemen-diri tidaklah selalu berdampak pada hasil belajar siswa
dan mereka harus melakukan setiap upaya untuk menjamin bahwa ada mekanisme
untuk menghubungkan manajemen dengan beberapa area dalam pelaksanaan sekolah.
Hasil penelitian tentang dampak penerapan MBS terhadap mutu
pendidikan ternyata sangat bervariasi. Ada penelitian yang menyatakan negatif.
Ada yang kosong-kosong. Ada pula yang positif.
Penelitian yang dilakukan oleh Leithwood dan Menzies (1998a)
dengan 83 studi empirikal tentang MBS menyatakan bahwa penerapan MBS terhadap
mutu pendidikan ternyata negatif, “there is virtually no firm”. Fullan (1993)
juga menyatakan kesimpulan yang kurang lebih sama. “There is also no doubt that
evidence of a direct cause-and-effect relationship between self-management and
improved outcomes is minimal”. Tidak diragukan lagi bahwa hubungan sebab akibat
hubungan antara MBS dengan peningkatan mutu hasil pendidikan adalah minimal.
Hal ini dapat dimengerti karena penerapan MBS tidak secara langsung terkait
dengan kejadian di ruang kelas.
Pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah telah
mempunyai dampak positif terhadap motivasi dan komitmen guru dan terhadap
keberhasilan sekolah. Hasil penelitan William (1997) di Kerajaan Inggris dan
New Zealand menunjukkan bahwa “the increase decision-making power of principals
has allowed them to introduce innovative programs and practices”. Peningkatan
kemampuan kepala sekolah dalam pengambilan keputusan telah membuat
memperkenalkan program dan praktik (penyelenggaraan pendidikan) yang inovatif.
Geoff Spring, arsitek reformasi di Australia Selatan dan Victoria menyatakan
bahwa “school-based management has led to higher student achievement” De Grouwe
(1999).
Hal yang menggembirakan juga dinyatakan oleh King dan Ozler
(1998) menyatakan bahwa “enhanced community and parental involvement in EDUCO schools
has improved students’ language skills and diminished absenteeism”. Jemenez dan
Sawada (1998) menyimpulkan bahwa pelibatan masyarakat dan orangtua siswa
mempunyai dampak jangka panjang dalam peningkatan hasil belajar.
9. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan
paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar
penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan.
1. Salah satu
strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan
MBS, yakni peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk
masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah
harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential
point is that schools and teachers will need capacity building if school-based
management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
2. Membangun
budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel.
Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada
masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan
oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif.
Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster
tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan
ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
3. Pemerintah
pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain,
pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam
rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan
block grant yang diterima sekolah.
4.
Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan
pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada
sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai
lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama
berupa penataran MBS.
BAB.
III
Kesimpulan.
Satu cara yang berguna dalam menyimpulkan adalah melihat
tantangan sebagai satu cara menciptakan suatu jenis sistem pendidikan baru yang
sesuai abad ke-21. Kita membutuhkan sistem-sistem baru yang terus-menerus mampu
merekonfigurasi kembali dirinya untuk menciptakan sumber nilai publik baru. Ini
berarti secara interaktif menghubungkan lapisan-lapisan dan fungsi tata kelola
yang berbeda, bukan mencari cetak biru (blueprint) yang statis yang membatasi
berat relatifnya.
Pertanyaan mendasar bukannya bagaimana kita secara tepat
dapat mencapai keseimbangan yang tepat antara lapisan-lapisan pusat, regional,
dan lokal atau antara sektor-sektor berbeda: publik, swasta, dan sukarela.
Justeru, kita perlu bertanya Bagaimana suatu sistem secara keseluruhan menjadi
lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya ?. (Bentley & Wilsdon,
2004).
Secara sederhana dikatakan, manajemen berbasis sekolah
bukanlah “senjata ampuh” yang akan menghantar pada harapan reformasi sekolah.
Bila diimplementasikan dengan kondisi yg benar, ia menjadi satu dari sekian
strategi yang diterapkan dalam pembaharuan terus-menerus dengan strategi yang
melibatkan pemerintah, penyelenggara, dewan manajemen sekolah dalam satu sistem
sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Caldwell, B. J. (2002). Autonomy and self-management: Concepts and evidence.
In Bush, T., & Bell, L. (Eds.), The Principles and Practice of Educational
Management’ (pp. 21-40 ). London: Paul Chapman Publishing.
Bentley, T. & Wilsdon, J. (2004). The Adaptive State: London: Demos.
Caldwell, B. J., & Hayward, D. K. (1998). The Future of Schools: Lessons
from the Reform of Public Education. London: Falmer Press.
Caldwell, B. J., & Spinks, J. M. (1998). Beyond the Self-Managing School.
London: Falmer Press.
Fullan, M., & Watson, N. (2000). School-based management:
Reconceptualizing to improve learning outcomes. School Effectiveness and School
Improvement, 11(4), 453-474.
Hargreaves, D. (2003). Education Epidemic. London: Demos.
Jesson, D. (2004). Educational Outcomes andValueAdded by Specialist
Schools. London: Specialist Schools Trust.
Leung, Y.H. (2003). The politics of decentralization: A case study of
school management reform in Hong Kong. In Mok, K.H. (Ed.), Centralization and
Decentralization: Educational Reforms and Changing Governance in Chinese
Societies (pp. 21-38). Hong Kong: Comparative Education Research Centre, The
University of Hong Kong, & Kluwer Academic Publishers.
LLECE (2002). Qualitative Study of Schools with Outstanding Results in
Seven Latin American Countries. Report of the Latin American Laboratory for
Assessment of the Quality of Education (LLECE). Santiago: UNESCO.
Ouchi, W. G., & Segal, L. G. (2003). Making Schools Work: A Revolutionary
Plan To Get Your Children The Education They Need. New York: Simon &
Schuster.
Based Management: A Strategy for Better Learning. Arlington,
Virginia: 1988.
David Peterson, School-Based Management and Student
Performance,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar