Jumat, 15 April 2011

LA,NDASAN ILMU PENDIDIKAN INTEGRATIF SEGREGATIF, INKLUSIF DAN INTEGRATIF

PENDIDIKAN INTEGRATIF,
 INKLUSIF DAN SEGREGATIF
BAB I
LATAR BELAKANG

            Pendidikan pada dasarnya   adalah  diperuntukan  untuk setiap warga Negara yang berusaha  mengembangkan  potensi  diri melalui proses pembelajaran  yang tersedia  pada jalur, jenjang dan  jenis pendidikan tertentu. Seperti yang tertulis dalam Undang – Undang RI No. 23 tahun 2003 pasal 5, secara jelas  mendeskripsikan  hak dan kewajiban   Warga Negara. Adapun isi dari  pasal tersebut anatara lain :
1.      Setiap  Warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh  pendidikan yang bermutu.
2.      Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan  atau sosial  berhak memperoleh  pendidikan khusus.
3.      Warga Negara di daerah terpencil  atau terbelakang  serta masyarakat adat  yang terpencil berhak  memperoleh  pendidikan  layanan khusus.
4.      Warga Negara yang memiliki  potensi  kecerdasan  dan bakat Istimewa  berhak memperoleh  pendidikan khusus.
5.      Setiap Warga Negara  berhak mendapat kesempatan  meningkatkan  pendidikan  sepanjang hayat.

Dari pasal tersebut  dapat ditarik kesimpulan  bahwa Warga Negara  tidak  terkecuali  warga Negara yang memiliki  kelainan   fisik  dan keterbelakangan  mental  memiliki  hak yang sama dengan warga yang lain.

Sistem Pendidikan Nasional harus  mampu menjamin pemerataan  kesempatan  pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi  manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan  sesuai dengan tuntutan  perubahan kehidupan lokal , nasional , gelobal sehingga perlu  dilakukan pembahaaruan pendidikan secara terarah, terencana dan  berkesinambungan.
Pendidikan untuk Warga Negara yang yang memiliki kekurangan  secara fisik dan mental membutuhkan penanganan  yang lebih intensif  oleh Pemerintah dan pihak yang bekecimpung dalam pendidikan. Dengan keterbatasannya mereka yang memiliki disability  kurang sering dilihat  berbeda  dari manusia lainnya. Untuk itu dengan dasar kemanusiaan, sebagai pendidik berkewajiban membantu  mereka dalam hal memperoleh pendidikan yang sama.
Dengan demikian pendidik harus menentukan  metode  yang tepat bagi mereka sehingga  mereka dapat  memperoleh  pendidikan  secara baik,  agar supaya dapat hidup bermasyarakat dan mengembangkan potensi dirinya. Dalam kaitannya dengan  metode pendidikan  yang baik untuk mereka  yang mempunyai kekurangan, secara fisik maupun mental  maka pembahasan kelompok kami  meliputi  Pendidikan Integratif, Inklusif dan  Segregatif  sehinggga diharapkan  dengan mengetahui  metode – metode  pendidikan tersebut  selaku pendidik  kita mengetahui  dan mampu  untuk  mengajarkan  anak didik  yang mempunyai disability kurang  dan juga  tidak terlepas dari anak didik lainnya.

A.    PENDIDIKAN  INTEGRATIF

1.     Hakekat Pendidikan Integratif

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa banyak anak dengan disability kurang, belajar bersama anak normal, tetapi mereka tidak memperoleh pelayanan pendidikan secara memadai atau mereka tidak mendapatkan sekolah dengan alasan yang tidak jelas. Hal ini disebabkan salah satunya karena kurangnya sumber daya manusia dan banyak tenaga ahli yang belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang anak dengan disability kurang atau rasio penyelenggaraan yang sangat mahal, sehingga masih sedikit sekolah yang mau menerima mereka karena berbagai alasan diatas. Menyelenggarakan pendidikan integrasi disekolah merupakan kemajuan yang baik, tetapi tidak semudah membalikkan tangan. Namun kita harus berani memulai supaya anak dengan disability kurang mendapat tempat dan penanganan yang terbaik.

Konsep pendidikan integratif memiliki penafsiran yang bermacam-macam antara lain:
  Menempatkan anak dengan disability dengan anak normal secara penuh
• Pendidikan yang berupaya mengoptimalkan perkembangan kognisi, emosi,  jasmani, intuisi
  Mengintegrasikan pendidikan anak autisme dengan pendidikan pada umumnya
  Mengintegrasikan apa yang dipelajari disekolah dengan tugas masa depan
  Mengintegrasikan manusia sebagai mahluk individual sekaligus mahluk social

2.  Perkembangan system sekolah untuk anak dengan disability
Menjelang pertengahan tahun 1970 an, kebanyakan sistem sekolah telah menciptakan sekolah khusus yang terpisah untuk anak anak-anak yang mempunyai disability. Masing-masing sekolah melayani satu jenis disability: biasanya intelektual, fisik, visual atau pendengaran. Dan masih ada pembagian lebih lanjut berdasarkan atas tingkat disability intelektual, atau untuk anak-anak yang mempunyai kesulitan pendengaran, pendekatan pengajaran. Pengembangan system sekolah khusus terpisah berdasarkan atas pemahaman bahwa setiap anak yang mempunyai disability akan memperoleh manfaat pada lingkungan terpisah dimana secara teoritis paling tidak dapat menyediakan kelas kecil dan pengajaran dan peralatan khusus.
Lebih dari 20 tahun terakhir, terdapat gerakan yang kuat menuju pendidikan siswa dengan kebutuhan khusus pada sekolah regular. Pendidikan ini tidak lepas kaitannya dengan proses integrasi, inklusi mainstreaming dan normalisasi.

Dalam hal ini siswa yang mempunyai disability akan menggunakan fasilitas pendidikan khusus yang sama dengan yang digunakan oleh siswa yang tidak mempunyai disability.
Pendidikan tersebut didasari oleh tiga alasan utama:

1. Riset telah menunjukan dengan jelas bahwa sekolah khusus yang terpisah menghasilkan hasil pembelajaran social atau akademis yang lebih baik dari pada lingkungan terintegrasi, terutama untuk siswa yang mempunyai disability sedang.
2. Terdapat riset yang menunjukan bahwa anak-anak dapat memperoleh manfaat dari model sekolah inklusif, meskiun mereka mempunyai disability yang parah dan berganda.
3. Terdapat penerimaan yang luas mengenai hak semua orang untuk berpartisipasi sepenuhnya di dalam masyarakat mainstream jika mereka mmemilih untuk melakukannya.

Konsekuensi dari perubahan-perubahan tersebut adalah bahwa beberapa siswa yang mungkin sebelumnya menghabiskan seluruh waktu sekolahnya dalam lingkungan yang terpisah, sekarang akan mempunyai kelas regular. Oleh karena itu merupakan hal yang penting bahwa guru kelas regular merasa berkopeten untuk mengajar semua siswa yang berada di bawah tanggung jawab mereka. Mereka harus berbangga hati dalam melayani masyarakat mencakup orang-orang yang mempunyai cacat dan yang tidak cacat.

3. Pendidikan Integratif

a.    Istilah integrasi
Istilah yang luas untuk merujuk pada bersekolahnya seorang anak pada sekolah regular. Dapat diartikan pada proses memindahkan seorang siswa pada lingkungan yang tidak terlalu terpisah. Seseorang anak yang bersekolah pada sekolah regular, tetapi berada pada unit atau kelas khusus. Meskipun siswa tersebut berada pada kelas khusus , jelas bahwa apabila kelas tersebut pada sekolah regular, peluang untuk berinteraksi dengan anggota lain masyarakat sekolah secara umum jauh lebih besar dari pada anak yang berada pada sekolah khusus yang terpisah.
Banyak sekolah yang mempunyai kelas khusus mempunyai program khusus untuk mendorong interaksi antara siswa dengan dan tanpa kebutuhan pendidikan khusus. Misalnya, pada beberapa sekolah, anak-anak menghabiskan pagi harinya pada kelas khusus dan siangnya pada kelas regular. Para guru dan asisten dari kelas khusus biasa mendukung penempatan pada kelas khusus. Peluang-peluang bagi interaksi tersebut, berdasarkan atas prinsip normalisasi. Jauh mungkin untuk terjadi apabila anak tersebut diintegrasikan pada sekolah reguler.

b. Tehnik Perencanaan Integratif
Mengintegrasikan anak disability dengan anak normal secara penuh harus dengan suatu konsep, perhitungan yang matang dan kerja keras.Kebanyakan sekolah juga belum memiliki jawaban yang baik untuk saat ini. Yang ada orang tua dan guru-guru sekolah harus bekerja sama, bersikap terbuka, selalu komunikasi untuk membuat perencanaan penanganan dengan tehnik terbaik.

Langkah-langkah penerimaan oleh sekolah:
•Tentukan jumlah anak disability yang akan diterima misal, dua anak dalam satu kelas dan lain-lain.
 Lakukan tes untuk melihat kemampuan serta menyaring anak
• Setelah tes, wawancara orang tua untuk melihat pola pikirnya, apa tujuan memasukkan anak ke sekolah.
  Buatlah kerangka kerja dan hasil observasi awal.
  Susun bagaimana mengatur evaluasi anak dalam hal: siapa yang
bertanggung jawab mengawasi, menerima complain, periode laporan perkembangan dan lain-lain.
• Buatlah kesepakatan antara orang tua dan sekolah bahwa hasil yang dicapai adalah paling optimal.

Parameter Apakah Yang Dapat Membantu Evaluasi Akademis
1 Berhitung 1-10, 1-20 baik dengan atau tanpa papan, irama dan dan ketukan wajar, maju dan mundur
2 Mampu mengidentifikasi dan menulis angka
3 Mengenal semua bentuk dengan cepat
4 Mengenal warna dengan cepat
5 Mampu mengenal semua bentuk huruf dengan cepat
6 Mampu mendeskripsikan suatu topik tunggal / sederhana
7 Mampu menggambarkan sederhana
8 Mampu mengingat 2-3 digit, membedakan benda yang sejenis
9 Mampu memilih obyek dan gambar yang hampir sama
10 Mampu mengenal simbol-simbol sederhana
11 Bahasa yang dia pakai dapat kita mengerti atau sebaliknya
12 Mampu membedakan arah kiri, kanan, atas, dan bawah
13 Memberikan jumlah yang kita minta antara 1-9

Ketrampilan sosial dan tingkah laku
1 Prilaku kontrol diri dalam lingkungan
2 Kontak mata
3 Perhatian dan Konsentrasi
4 Kemampuan Mendengarkan
5 Diam dan Menunggu
6 Berbagi giliran dengan teman
7 Berkunjung ( Visiting)
8 Mengirim Pesan sederhana
9 Menjawab Pertanyaan sederhana yang berhubungan dengan identitas dirinya


Keterampilan Berkomunikasi
1 Kemampuan dasar berinisiatif
2 Mampu mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan dasar anak
3 Menyatakan ya atau tidak yang berhubungan dengan pribadi anak
4 Kemampuan memilih

Pelaksanaan Aktivitas sehari-hari
1 Toilet raining
2 Makan dengan sendok dan garpu
3 Mampu memakai celana, jaket, baju, sepatu tanpa bantuan
4 Mengancingkan baju
5 Merawat dan memperhatikan barang sendiri
6 Mandi dan menggosok gigi

Keterangan:
A: Mampu / Mandiri/ excellent
B: di arahkan/ dibantu minimal
C: di bantu penuh

Jika anak kita (Autis) menguasai ketrampilan antara
- A = 25 < 34 Termasuk anak yang ringan (mild)/High Function
- A = 15 < 24 Termasuk anak yang sedang/sedang (Severed)
- A Kurang dari 15 Termasuk anak yang berat (Low Function)

Dengan parameter diatas kita akan mampu mengidentifikasi anak-anak dengan lebih akurat, bukan menitik beratkan pada berat dan ringan kondisi anak, akan tetapi untuk memudahkan pihak-pihak yang bersangkutan dan orang tua agar mengerti apa yang harus dilakukan, guru mampu membuat program dengan akurat untuk anak, lembaga dapat menyeleksi anak sesuai kapasitas dan kebutuhan.

Untuk mengintegrasikan anak ini ada hal-hal lain yang dapat dijadikan pertimbangan:
• Seberapa besar gangguan/kekacauan yang dapat timbul karena anak autis ini.
• Berapa persentase dari kurikulum yang dapat digunakan dan dijangkau oleh anak autis.
• Seberapa siap tenaga ahli/guru menangani dan mengelola kelas yang di dalamnya terdapat anak autis






e. Pelaksanaan pendidikan terpadu di Indonesia
   Sistem Pengajaran
a) Belajar di kelas biasa dengan guru kelas.
      Sekarang ini banyak siswa disability yang mendapatkan program pelayanan pendidikan terpadu secara penuh, dimana siswa disability belajar di kelas biasa dan ditangani sepenuhnya oleh guru kelas serta masing-masing guru bidang studi. Sistem ini hanya dapat diikuti oleh siswa disability yang memiliki intelegensi di atas rata-rata.
b) Belajar di kelas biasa dengan guru kelas dan seorang guru pembimbing khusus.
      Siswa disability belajar di kelas biasa dengan guru kelas yang didampingi oleh guru pembimbing khusus. Guru pembimbing khusus dapat berasal dari kalangan guru PLB tetapi dapat pula dari tenaga ahli di bidangnya.
c) Belajar di kelas biasa dengan guru kunjung
      Guru kunjung biasanya menangani siswa disability yang belajar pada beberapa sekolah. Fungsinya hanya memberikan saran-saran kepada guru kelas atau guru bidang studi.
d) Belajar di sekolah umum dengan kelas khusus
      Siswa disability belajar di sekolah umum tetapi belajar di kelas yang khusus (terpisah dengan siswa normal lainnya).
e) Belajar dalam satu lokasi sekolah dengan berbagai macam ketunaan.
      Siswa disability bersama dengan siswa yang memiliki kebutuhan khusus lainnya belajar dalam satu gedung sekolah yang sama.

B.   PENDIDIKAN INKLUSIF
1.     Hakikat Pendidikan Inklusif

       Sekolah Inklusif adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan pendidikan bagi anak penyandang cacat adalah pentingnya pendidikan Inklusif, tidak hanya memenuhi target pendidikan untuk semua dan pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih banyak keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan Inklusif mulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di mana akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian penyandang cacat anak akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung jawab. Inklusif terjadi pada semua lingkungan sosial anak, Pada keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada institusi-institusi kemasyarakatan lainnya.

       Pendidikan inklusif merupakan sebuah pendekatan yng berusaha mentransformasi system pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh daam pendidikan.
Inklusif merupakan perubahan praktis yang memberi peluang anak dengan latar belakang dan kemampuan yang berbeda bisa berhasil dalam beljar. Perubahan ini tidak hanya menguntungkan anak yang sering tersisihkan, seperti anak berkebutuhan khusus, tetapi semua anak dan orangtuanya, semua guru dan administrator sekolah, dan setiap anggota masyarakat.
       Inklusif memang mengikutsertakan anak berkelaian seperti anak yang memiliki kesulitan melihat atau mendengar, yang tidak dapat berjalan atau lebih lamban dalam belajar. Namun, secara luas inklusif juga berarti melibatkan seluruh peserta didik tanpa terkecuali, seperti:
1. Anak yang menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa pengantar yang digunakan di dalam kelas.
2.  Anak yang beresiko putus sekolah karena sakit, kelaparan atau tidak berprestasi dengan baik.
3.  Anak yang berasal dari golongan agama atau kasta yang berbeda.
4.  Anak yang terinfeksi HIV atau AIDS, dan
5.  Anak yang berusia sekolah tetapi tidak sekolah.

Prinsip-prinsip dasar pendidikan inklusif, yang membedakan dengan sistem integratif, apalagi segregatif adalah:

1. Semua anak, siapapun dia, memiliki hak untuk menempuh pendidikan di sekolah mana pun, dan sekolah wajib menerima murid, siapapun dia.
2. Setiap anak/murid adalah individu yang unik, olehkarenanya, sistem pendidikan harus dibuat fleksibel, memberikan kemungkinan pada guru untuk melakukan penyesuaian, guna mengakomodasikan kebutuhan khusus setiap siswa.
3. Sistem pendidikan dalam suatu negara harus dibuat satu sistem, dan sistem pendidikan untuk anak-anak yang menyandang kecacatan merupakan bagian integral dari sistem pendidikan umum tersebut; bukan terpisah atau khusus.

       Guru-guru di sekolah umum harus memiliki wawasan dan ketrampilan untuk mengajar siswa, siapa pun dia. Itu sebabnya, pendidikan/pelatihan untuk guru harus melakukan penyesuaian dengan sistem ini.
Inklusif berarti bahwa sebagai guru bertanggung jawab untuk mengucapkan bantuan dalam menjaring dan memberikan layanan pendidikan pada semua anak dari otoritas sekolah, masyarakat, keluarga, lembaga pendidikan, layanan kesehatan, pemimpin masyarakat, dan lain-lain.

2. Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan:
1. Modifikasi alokasi waktu
     Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu pada kecepatan belajar siswa. Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam kurikulum reguler (Kurikulum Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi waktunya selama 6 jam.
     • Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal (anak   berbakat) dapat dimodifikasi menjadi 4 jam.
     • Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal dapat dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam;
     • Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak lamban belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, atau lebih; dan untuk anak tunagrahita menjadi 18 jam, atau lebih; dan seterusnya.

2. Modifikasi isi/materi
 Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal, materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan (diperluas dan diperdalam) dan/atau ditambah materi baru yang tidak ada di dalam kurikulum sekolah reguler, tetapi materi tersebut dianggap penting untuk anak berbakat.
 Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan, atau tingkat kesulitannya diturunkan sedikit.
 Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya, atau bahkan dihilangkan bagian tertentu.

3. Modifikasi proses belajar-mengajar
 Mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi, yang meliputi analisis, sintesis, evaluasi, dan problem solving, untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal;
 Menggunakan pendekatan student centerred, yang menenkankan perbedaan individual setiap anak;
  Lebih terbuka (divergent)
• Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan siswa di dalam kelas heterogen, sehingga mungkin ada anak yang saling bergerak kesana-kemari, dari satu kelompok ke kelompok lain.
• Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kompetitif anak dirangsang untuk berprestasi setinggi mungkin dengan cara berkompetisi secara fair. Melalui kompetisi, anak akan berusaha seoptimal mungkin untuk berprestasi yang terbaik, “aku-lah sang juara”! Namun, dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak negatifnya, yakni mungkin “ego”-nya akan berkembang kurang baik. Anak dapat menjadi egois. Untuk menghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran kompetitif ini perlu diimbangi dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif, setiap anak dikembangkan jiwa kerjasama dan kebersamaannya. Mereka diberi tugas dalam kelompok, secara bersama mengerjakan tugas dan mendiskusikannya. Penekanannya adalah kerjasama dalam kelompok, dan kerjasama dalam kelompok ini yang dinilai. Dengan cara ini sosialisasi anak dan jiwa kerjasama serta saling tolong menolong akan berkembang dengan baik. Dengan demikian, jiwa kompetisi dan jiwa kerjasama anak akan berkembang harmonis.
• Disesuaikan dengan berbagai tipe belajar siswa (ada yang bertipe visual; ada yang bertipe auditoris; ada pula yang bertipe kinestetis).
• Tipe visual, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera penglihatan.Tipe auditoris, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera pendengaran.Tipe kinestetis, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera perabaan/gerakan.Guru hendaknya tidak monoton dalam mengajar sehingga hanya akan menguntungkan anak yang memiliki tipe belajar tertentu saja.

4. Mainstreaming
Seorang siswa mengalami mainstream ketika dia terdaftar pada atau bersekolah pada kelas khusus. Siswa berada pada kelas khusus yang berintegrasi di pagi hari, dan bersekolah sebagaimana biasa(mainstream) di sore hari. Mainstreaming secara umum dianggap sebagai penempatan yang paling normatife secara cultural.
a) Implmentasi
 Mainstreaming
 Kelas khusus dan kelas normal bergabung membentuk kelas yang sepenuhnya berinteraksi
 Masing-masing siswa mempunyai status yang sama sebagai anggota kelas
 Lingkungan sesuai dengan usia
 Kurikulum dibuat untuk mengakomodasikan berbagai kecepatan belajar
 Rasio staff adalah tepat: staff yang bekerja akan bekerja pada kelas regular dengan guru kelas untuk melayani kbutuhan semua anak-anak di kelas tersebut termasuk yang mempunyai disability intelektual.
 Integrasi lain
 Disamping kelas normal, terdapat program integrasi untuk semua siswa
 Kelas yang akan distreaming harus sesuai dengan usia agar supaya memberikan interaksi yang maksimum.
 Bidang-bidang kurikulum ditentukan oleh staf yang berpartisipasi
 Interaksi pada social, incidental, dan direncanakan ditempat bermain , ditempat pertemuan, di ruang kelas, melalui system pertemanan.
 Evaluasi
Evaluasi terprogram. Data dikumpulkan dari staff, orang tua, personil yang terlibat dan siswa. Mencakup laporan anekdot, kwisioner dan wawancara.
 Evaluasi Penempatan
Siswa yang terlibat pada program normal dan parsial yang kemajuannya dimonitor melalui pelaporan anekdot, sampling kerja dan pengamatan oleh professional yang terlibat dan orang tua. Penempatan flexible, dengan pendidikan dan kesejahteraan siswa merupakan factor penting.

5. Normalisasi
Normalisasi merupakan suatu konsep keadilan social yang telah membentuk dasar dari kebijakan pendidikan khusus dari kebanyakan system sekolah. Konsep normalisasi mencakup kepercayaan bahwa orang-orang berhak untuk menjalani gaya hidup senormal mungkin didalam masyarakat mereka. Prinsip normalisasi menunjuka bahwa semua anak-anak harus mempunyai peluang untuk bersekolah di dekat rumah, dengan cara yang sama dengan anak-anak yang tidak mempunyai disability.

6. Hal-hal yang harus diperhatikan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
• Sekolah harus menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keaneka-ragaman dan menghargai perbedaan.
• Sekolah harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang bersifat individual
• Guru harus menerapkan pembelajaran yang interaktif.
• Guru dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya lain dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
• Guru dituntut melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses pendidikan.
A. KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN KPENDIDIKAN SEGREGATIF
 Keuntungan system pendidikan segregasi:
• Rasa ketenangan pada anak luar biasa
• Komunikasi yang mudah dan lancar
• Metode pembelajaran yang khusus sesuai dengan kondisi dan kemampuan anak.
• Guru dengan latar belakang pendidikan luar biasa
• Mudahnya kerjasama dengan multidisipliner.
• Sarana dan prasarana yang sesuai.
• Merasa diakui kesamaan haknya dengan anak normal terutama dalam memperoleh pendidikan
• Dapat mengembangakan bakat ,minta dan kemampuan secara optimal
• Lebih banyak mengenal kehidupan orang normal
• Mempunyai kesempatan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi
• Harga diri anak luar biasa meningkat
• Dapat menumbuhkan motipasi dalam belajar
• Guru lebih mudah untuk merencanakan dan melakukan pembelajaran karena siswanya homogen
• Siswa tidak menjadi bahan ejekan dari siswa lain yang normal
 Kelemahan system pendidikan segregasi:
• Sosialisasi terbatas
• Penyelenggaraan pendidikan yang relative mahal
• Bebas bersaing
• Egoistik, menumbuhkan kesenjangan kualitas pendidikan.
• Efektif dan efisien untuk kepentingan individu
• Menumbuhkan disintegrasi
• Tidak terikat
• Mahal dan butuh fasilitas banyak Spesifik dan spesialis
• Memperlemah persatuan nasional
• Potensial untuk pengembangan otonomi
C.   PENDIDIKAN SEGREGATIF

1. Hakikat Pendidikan segregatif
       Sistem pendidikan dimana anak berkelainan terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Penyelengggaraan sistem pendidikan segregasi dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal.
Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas.

2. Fasilitas dan sarana Pendidikan segregatif
- Tersedia alat-alat bantu belajar yang dirancang khusus untuk siswa. Sebagai contoh tunanetra, seperti buku-buku Braille, alat bantu hitung taktual, peta timbul, dll.
- Jumlah siswa dalam satu kelas tidak lebih dari delapan orang sehingga guru dapat memberikan layanan individual kepada semua siswa.
- Lingkungan sosial ramah karena sebagian besar memiliki pemahaman yang tepat mengenai disability anak.
- Lingkungan fisik aksesibel karena pada umumnya dirancang dengan mempertimbangkan masalah mobilitas disability, dan kami mendapat latihan keterampilan orientasi dan mobilitas, baik dari instruktur O&M maupun tutor sesama disability.
- Dapat menemukan orang disability yang sudah berhasil yang dapat dijadikan sebagai model.

3. KATEGORI
kategori kecacatan SLB itu di kelompokkan menjadi :
(1) SLB bagian A untuk anak tuna netra
(2) SLB bagian B untuk anak tuna rungu
(3) SLB bagian C untuk anak tuna Grahita
(4) SLB bagian D untuk anak tuna daksa
(5) SLB bagian E untuk anak tuna laras
(6) dan SLB bagian F untuk anak cacat ganda
4. Bentuk-bentuk system pendidikan segregasi:
 Sekolah Luar Biasa
 Sekolah Dasar Luar Biasa
 Kelas Jauh/Kelas Kunjung
PERBEDAAN INDIVIDU SEBAGAI
LANDASAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
BAB I
PENDAHULUAN
       Manusia sejak dahulu sudah menjadi bahan pembicaraan manusia itu sendiri karena keunikannya. Unik dalam arti sisi fisik dan jiwanya. Maka wajar karena kompleksitas keunikannya itulah sampai saat ini hanya dapat menduga-duga. Kalaupun kajian itu bersifat ilmiah, konklusinya tidak dapat serta merta diproklamasikan sebagai sumber informasi primer yang benar secara generik.
       Dikatakan demikian karena manusia benar-benar unik karena tidak ada dua individu yang identik, walaupun kedua individu tersebut kembar. Apa lagi jika manusia ini diteliti dengan mengkomparasikannya dengan hewan atau mahluk lain. Manusia sebagai mahluk berakal, mahluk berpikir, mahluk sosial, mahluk beradab, mahluk berperasaan, dan sekaligus mahluk individu.
       Namun tidak berarti kita tidak menaruh salut kepada para pendahulu kita yang telah mendedikasikan hidup dan kehidupannya untuk memberi perncerahan dalam khasanah bereksplorasi mencari jawaban tentang manusia. Dengan pemikiran dan penemuan merekalah kita yang hidup saat ini untuk sementara menerima temuan mereka sebagai dasar kebenaran walaupun bersifat sementara. Dengan dasar pemikiran yang bersifat relatif tersebut pula kita dituntut untuk terus melanjutkan mencari kebenaran yang paripurna.
       Di satu sisi, pendidikan sebagai salah satu budaya manusia, sekaligus sebagai cabang ilmu sosial sangat berkepentingan terhadap kajian perbedaan individu. Sebab dengan meletakkan perbedaan individu sebagai salah satu landasannya, proses pendidikan akan tepat sasaran. Dikatakan demikian karena proses pendidikan itu hakekatnya bersinggungan langsung dengan individu-individu. Bagaimana mungkin sebuah proses pendidikan akan berhasil guna dan berdaya guna manakala fitrah manusia yang memiliki perbedaan diabaikan.
       Dengan menyadari sekaligus menghargai perbedaan individu, proses pendidikan akan lebih berarti. Bisa jadi modernisasi pendidikan seyogyanya diawali dengan kesadaran akan perbedaan individu yang memiliki kelebihan, dan atau kelemahan masing-masing. Maka muncul istilah-istilah CTL (Contekstual Teaching and Learning), life skill, penilaian proses, dan lain-lain yang berorientasi pada perbedaan individu. Malah jika penulis boleh usul, kurikulum berbasis kompetensi, manajemen berbasis sekolah, proses berbasis kelas, namun penilaian selayaknya berbasis individu. Hal ini penulis pikir layak karena setiap peserta didik memiliki kepentingan atas ketercapaian apa yang diharapkannya. Dan itu tidak sama dari setiap individu. Tetapi hal ini perlu kajian khusus.
Kembali pada masalah perbedaan individu. Banyak teori atau pendapat yang diutarakan oleh para ahli. Beberapa di antaranya penulis tampilkan secara singkat. Dan siapa tahu kajian berikut merangsang para pemikir muda untuk mengkaji lebih dalam tentang perbedaan individu ini guna mencari solusi terhadap perkembangan pendidikan ke arah yang lebih baik. Semoga.

A. Individu dan Karakteristiknya.
Untuk memahami karakteristik individu perlu terlebih dahulu dipahami apa yang dimaksud individu itu.
“Manusia” adalah mahluk yang dapat dipandang dari berbagai sudut pandang. Sejak ratusan tahun sebelum nabi Isa, manusia sudah menjasi objek filsafat, baik objek formal yang mempersoalkan hakekat manusia maupun objek materil yang mempersoalkan manusia sebagai apa adanya manusia dan dari berbagai kondisinya. Sebagaimana dikenal adanya manusia sebagai mahluk yang berfikir atau “homo sapiens”, mahluk yang berbentuk atau “homo faber”, mahluk yang dapat dididik atau “homo educandum”, dan seterusnya merupakan pandangan-pandangan tentang menusia yang dapat digunakan untuk menetapkan cara pendekatan yang akan diakukan terhadap manusia tersebut. Berbagai pandangan itu membuktikan bahwa manusia adalah mahluk kompleks.
Setiap individu memiliki dan sifat atau karakteristik bawaan atatu (heredity) dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan. Karakteristik bawaan merupakan karakteristik keturunan yang dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut factor biologis maupun factor social psikologis.
Seorang bayi yang baru lahir merupakan hasil dari dua garis keluarga, yaitu garis keluarga ayah dan garis keluarga ibu.Sejak terjadinya pembuahan dan konsepsi kehidupan yang baru itu secara berkesinambungan dipengaruhi oleh banyak dan bermacam-macam factor lingkungan yang meransang. Masing-masing peransang tersebut, baik secara terpisah atau secara terpadu dengan rangsangan yang lain, semua membantu perkembangan potensi-potensi biologis demi terbentuknya tingkah laku manusia yang dibawa sejak lahir. Hal itu akhirnya membentuk suatu pola karakteristik tingkah laku yang dapat mewujudkan seseorang menjadi individu yang berkarakteristik berbeda dengan individu-individu lain.

B. Perbedaan Individu.
       Kalau perilaku individu mencakup segala pernyataan hidup, betapa banyak kata yang harus dipergunakan untuk mendeskripsikannya. Untuk keperluan studi tentang perilaku kiranya perlu ada sistematika pengelompokan berdasarkan kerangka berfikir tertentu (taksonomi). Dalam konteks pendidikan, Bloom mengungkapkan tiga kawasan (domain) perilaku individu beserta sub kawasan dari masing-masing kawasan, yakni : (1) kawasan kognitif; (2) kawasan afektif; dan (3) kawasan psikomotor. Taksonomi perilaku di atas menjadi rujukan penting dalam proses pendidikan, terutama kaitannya dengan usaha dan hasil pendidikan. Segenap usaha pendidikan seyogyanya diarahkan untuk terjadinya perubahan perilaku peserta didik secara menyeluruh, dengan mencakup semua kawasan perilaku.
       Dari bahasa bermacam-macam aspek perkembangan individu, dikenal ada dua factor yang menonjol. Yaitu:
1. Semua manusia mempunyai unsur kesamaan didalam pola perkembangannya
2. Di dalam pola yang bersifat umum dari apa yang berbentuk warisan manusia secara biologis dan social, tiap-tiap individu mempunyai kecenderungan berbeda.
Perbedaan-perbedaan tersebut secara keseluruhan lebih banyak bersifat kuantitatif dan bukaan kualitatif. Sejauh mana individu berbeda akan mewujudkan kualitas perbedaan mereka atau kombonasi-kombinasi dari berbagai unsur perbedaan tersebut. Ciri dan sifat orang yang satu berbeda dengan yang lain.
Perbedaan ini disebut perbedaan individual. Maka perbedaan dalam perbedaan individual menurut Landgren (1980:578) menyangkut variasi yang terjadi, baik variasi pada aspek fisik maupun aspek psikologis.
1. Bidang-bidang Perbedaan
Garry 1963 (Oxendine, 1984: 317) mengategorikam perbedaan individual kedalam bidang-bidang berikut:
Perbedaan fisik, usia, tingkat dan berat badan, jenis kelamin, pendengaran, penglihatan dan kemampuan bertindak.
Perbedaan social termasuk status ekonomi, agama, hubungan keluarga dan suku.
Perbedaan kepribadian termasuk watak, motif, minat, dan sikap.
Perbedaan intelegensi dan kemampuan dasar.
Perbedaan kecakapan atau kepandaian disekolah.
Secara kodrati, manusia memiliki potensi dasar yang esensial menbeedakan manusia dengan hewan, yaitu pikiran, perasaan, dan kehendak. Sekalipun demikian, potensi dasar yang dimilikinya itu tidaklah sama bagi masing-masing manusia. Oleh karena itu sikap, minat, dan kemamp’uan berfikir, watak, perilakunya, dan hasil belajarnya berbeda-beda antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya.
       Sebagian manusia lebih mampu dibidang seni atau bidang ekspresi yang lain, seperti olahraga dan keterampilan, sebagian lagi mampu dibidang kognitif atau yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.
Adapun perbedaan-perbedaan individu antara lain:
 Perbedaan kognitif
 Perbedaan individual dalam kecakapan bahasa
 Perbedaan dalam kecakapan motorik
 Perbedaan dalam latar belakang
 Perbedaan dalam bakat
 Perbedaan dalam kesiapan belajar
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Perbedaan Perilaku Individu.
Fillosof kuno Plato menjabarkan spekulasi tentang manusia, bahwa jiwa manusia merupakan:
1. Philosophic: yaitu jiwa untuk mencapai ilmu pengetahuan dan pengertian.
2. Spirited: yaitu jiwa untuk mencari kekuasaan dan ambisi.
3. Appetite: yaitu jiwa untuk memenuhi keinginan dan selera.

Teori-teori Klasik tentang Sifat Manusia
1. Machiavelli: Manusia pada dasarnya jahat, lebih buas dari binatang buas, dan diperbudak kehendak pengusaha dan negara2. Kelompok Organisasi Filosof Inggris: .
2. Manusia pada hakekatnya memerlukan kondisi mental yang kuat dalam rangka mencapai keinginan dan tujuan yang dikehendakinya.
3. Max Weber: Manusia pada dasarnya tidak rasional dan emosional yang membuat kurang baik dalam mengambil keputusan sehingga sering menambah masalah daripada memecahkan masalah.
4. F.W. Taylor: Manusia pada dasarnya malas, harus dikendalikan dengan ketat dan selalu harus berhati-hati agar dapat terhindar dari sifat pemborosan yang sulit dikendalikan oleh dirinya sendiri.
5. Elton Mayo: manusia pada dasarnya sebagai mahluk sosial yang ingin selalu bergabung dengan yang lain, berkelompok dan bekerja sama, bukan bersaing atau bermusuhan.
6. Ahli Ilmu Modern: Manusia pada dasarnya bukan mahluk baik, dan bukan pula mahluk jelek. Memiliki perilaku unik yang terarah tetapi tidak teratur.
Bila ditarik benang merahnya, dari pendapat para ahli di atas, manusia memiliki perilaku yang berbeda-beda berdasarkan fungsi interaksi dalam kehidupannya. Jika dirumuskan akan menjadi: P = f (I.L) keterangan: P: perilaku, f: fungsi, I: interaksi, L: lingkungan.

B. Adapun perbedaan individu tersebut disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Kemampuan yang berbeda, baik fisikis, maupun psikologis.
2. Perbedaan kebutuhan.
3. Kepercayaan (religius)
4. Pengalaman (experience).
5. Pengharapan (expectation)
6. Dan lain-lain (fisik, lingkungan, dan sebagainya)
Pendekatan Perilaku (Behavioral Aproach)
1. Pendekatan Kognitif seperti yang dikemukakan di atas, rumusan perilaku P = f (I.L.) antara perilaku fungsi dari individu dengan lingkungannya. Rumusan tersebut merupakan bangunan kesadaran mental individu dalam bersosialisasi terhadap lingkungan yang membentuk seseorang cara berpikir, memahami, dan melaksanakan kegiatan konsep yang menumbuhkan sikap, kepercayaan dan pengharapan. Dengan demikian pendekatan kognitif hanya dapat apa yang dilihat dalam perilaku saja yang direfleksikan pada ukuran perilaku. Elemen kognisi dikenal dengan rumus SCR sebagai berikut:
Stimulation Respons Cognition Menyisihkan uang jajan Menabung
Buku Contoh: Ketiga kognisi tersebut membentuk struktur kognisi yang menghasilkan sejumlah konsekuensi yang berbeda, yaitu:
a. Dalam kehidupan terdapat berjuta kognisi yang berbeda kompleksitasnya.
b. Merupakan kesatuan sistem atau konsonan, baik yang bertentangan maupun yang sepaham.
c. Saling terjalin dan membentuk suatu ideologi.
d. Dan dapat pula membentuk compartementalized yang tidak menyatu.
Selain struktur, kognisi dilihat dari fungsinya adalah sebagai berikut:
a. Membentuk pengertian (meaningfull).
b. Menghasilkan emosi dan perasaan (emotional and feeling)
c. Membentuk sikap (affective building)
d. Memberi motivasi (motivation incharge)
2. Pendekatan Penguatan (Reinforcement approach) Teori ini berkembang untuk meneliti perubahan perilaku dari eksperimen Ivan Pavlov dan Edward Thorndike melalui:
a. Penyelidikan reflek (conditional reflex) dengan rumus SR (stimulus – respons). Misalnya ada buah kedondong akan merangsang terbitnya air liur.
b. Trial and Error (law of effect), yaitu suatu usaha yang terus-menerus sampai mencapai kondisi kebutuhan nyata (real need).
Konsep penguatan ini dapat dilakukan dengan memberikan reward sebagai pembangun motivasi baik yang muncul secara internal berupa kebutuhan maupun secara eksternal berupa suport atau pujian.
3. Pendekatan Pemadaman (Extinetion approach) Pengaruh pelemahan
StimulusTeori ini digunakan untuk mengantisipasi perilaku yang negatif. Dalam rumusannya berarti terjadi pelemahan hubungan antara stimulus dengan respons.
4. Pendekatan Hukuman (Punishment approach)
Pendekatan ini berfungsi untuk mengantisipasi penyimpangan perilaku dengan cara memberi hukuman agar individu dapat kembali mengubah perilakunya yang menyimpang ke arah peningkatan respons.
Karena berupa hukuman, maka hubungan antara stimulus dengan respons tidak menyenangkan. Untuk menghindari situasi yang tidak menyenangkan tersebut, sebaiknya punishment bersifat:
a. dilakukan secara efektif dengan tujuan untuk memperbaiki perilaku menjadi
positif.
b. Memberi dampak jera pada individu.
c. Harus up to date.
d. Tetap diamati (teori Kendler).
Sebagai contoh guru yang tidak ikut upacara hari senin akan dipotong transportnya sehingga guru yang biasa tidak ikut akan berusaha datang untuk ikut upacara. Atau siswa yang tidak mengumpulkan pekerjaan rumah akan diberi tugas dua kali lipat dari tugas sebelumnya.
5. Pendekatan Psikoanalitis (Psychoanalytic Approach) Teori ini dikembangkan oleh Sigmund Freud. Dia mengatakan bahwa perilaku manusia dikuasai atau dikendalikan oleh kepribadiannya sendiri. Perbedaan individu dipengaruhi oleh konflik yang ada pada diri individu itu sendiri karena adanya model baik/buruk. Ukuran baik/buruk itu menjadi absolut/mutlak bagi individu yang mempercayainya yang bersumber pada magis atau supranatural, bukan ilmu.
Ego berada di bawah sadar untuk mendapatkan kekuasaan, keinginan, membutuhkan perantara sehingga berinteraksi di luar lingkungannya. Hubungannya dengan id dan superego adalah sebagai pengontrol dan bersifat melayani. Id adalah kepribadian yang bersumber pada kekuatan jiwa yang berupa insting-insting untuk mencapai kepuasan, keinginan, atau harapan-harapan. Id tidak terikat pada etik, moral, atau logika. Id memiliki sifat menerima yang bersumber pada libido, atau menolak yang bersumber pada agresi yang pada dasarnya bisa berupa merusak atau melawan.
Superego adalah sumber kekuatan moral personality seseorang. Superego terjadi setelah individu lepas dari periode oedipus komplek (cinta kepada orang tua). Superego merupakan mediator terhadap punishment dari proses penyimpangan perilaku individu. Superego membantu dan mendorong ego untuk mencapai kepuasan dan keinginan id atau membantu ego terhadap impul-impul id. Letupan-letupan id sebenarnya sulit untuk dikontrol oleh ego, karena itu superego potensial untuk membantu ego dalam mengatasi letupan id.
Perspektif pendekatan psikoanalitik Sigmund Freud ini adalah sebagai berikut;
Perilaku kreatif – penciptaan sesuatu Ketidakpuasan – dinamika keinginan yang terus-menerus Teknik pengembangan – training dan penelitian (belajar) Kepemimpinan dan kekuasaan – politik dan kenegaraan. Aspek Perbedaan Individu dalam Pendidikan Berikut ini akan diuraikan secara singkat tentang aspek-aspek perbedaan individu yang mendasari pendidikan.
1. Aspek Biologis Perilaku manusia pada hakikatnya dipengaruhi oleh interaksinya dengan lingkungan (empiris), dan faktor keturunan (hereditas). Aspek biologis ini tentu sangat penting untuk diperhatikan dalam konsep pengembangan ilmu pendidikan. Di antaranya kondisi fisik, perkembangan motorik, pewajahan, kesehatan, dan lain-lain.
Menurut Maslaw aspek kebutuhan fisik merupakan kebutuhan mutlak sehingga harus menjadi pertimbangan utama dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Karena itu hal-hal yang terkait dengan fisik/biologis individu sebagai peserta didik harus diperhatikan. Misalnya sarana/prasarana bangunan tempat belajar, jadwal kegiatan, peralatan khusus, pengaturan kelompok, serta konsep pendidikan yang tidak menumbuhkan konsep diri yang negatif.
2. Aspek Intelektual (Kognitif) Selain perbedaan biologis, setiap individu memiliki perbedaan intelektual. Perbedaan ini dapat dilihat dari performanya dalam kegiatan belajar seperti bertanya, menjawab, atau hasil tugasnya. Berdasarkan itulah teori Binet yang dikembangkan oleh Jensen menggunakan tes IQ dalam rangka mengenali sekaligus mengukur:
 kemampuan intelektual,
 kemampuan umum,
 kecerdasan dalam memecahkan masalah,
 kemampuan berkelompok,
 pencapaian tingkat akademik, dan
 indikator kemampuan intelektual seperti menghitung, bahasa, menerima perubahan, mengingat, memahami hubungan, dan berfantasi.
Intelegensi dideskripsikan menjadi dua yaitu konstruk S (specifik), dan konstruk G (general). Konstruk Specifik adalah konstruk yang khusus dimiliki oleh individu. Dan hal ini akan dijadikan pertimbangan penempatannya dalam situasi belajar, atau jenis pekerjaan yang sesuai dengan spesifikasinya. Sedangkan konstruk general adalah ukuran kemampuan intelektual umum yang dimiliki oleh setiap individu.
Dalam kontruk ini dibedakan ukuran tingkat kemampuannya. Konstruk S diperoleh melalui pendidikan dan atau pelatihan. Sedangkan konstruk G kebanyakan merupakan faktor genetik. Gagner mengembangkan teori tentang multiple intelligence yang menyatakan bahwa manusia memiliki o dimensi semi otonom, yaitu:
 Linguistik
 Musik
 Matematik-logis
 Visual spasial
 Kinesik fisik
 Sosial interpersonal
 Intrapersonal
 Intelegensi natural
Dalam hal ini perbedaan kognitif setiap individu dapat terlihat pada bagaimana seseorang:
1. berperhatian pada sesuatu
2. mendiskriminasikan rangsangan
3. mengklasifikasi ciri-ciri umum
4. meresponse time dalam problem solving
5. memiliki tanggapan induktif logis dan berpikir deduktif
6. mengantisipasi sesuatu secara konstruk terhadap rangsangan dari luar.
Untuk membedakan gaya kognitif sebagai analisis perbedaan individu dalam pengelolaan pendidikan, perhatikanlah bagan berikut ini! Gaya Kognitif Pengelolaan Pengajaran Conceptual tempo Psikologi tinggi Psychological differentiation Terikat vs bebas Cognitive reflective Psikologi rendah Cognitive impulsive Global vs analytic
3. Aspek Psikologis Ada dua komponen mendasar yang membedakan individu secara psikologis dalam dunia ilmu pendidikan, yaitu minat dan kemandirian. Minat sangat berkaitan dengan masalah bahan ajar, alat ajar, situasi, kondisi, serta guru. Sedangkan kemandirian seseorang bergantu pada upaya membebaskan diri dari ketergantungan pada bantuan orang lain, menumbuhkan keberanian, dan rasa percaya diri.
Berdasarkan teori dan temuan para ahli yang dikemukakan di atas, ternyata muncul perbedaan intrapersonal dan interpersonal antar individu yang pada akhirnya dijadikan sebagai landasan utama dalam kehidupan yang termasuk di dalamnya adalah pendidikan.
Pengelompokan Anak Didik untuk Keperluan Pendidikan Yang dimaksud dengan pengelompokan adalah penyatuan beberapa individu yang memiliki kesamaan karakter dan sifat untuk tujuan tertentu. Dikatakan untuk tujuan tertentu karena perilaku individu tidak selalu memiliki tingkat kesamaan fungsi dan arah walaupun memiliki karakter yang sama atau hampir sama. Jadi kesamaan yang dimaksud dikelompokkan berdasarkan kedekatan, tujuan, minat, dan bakatnya. Pendekatan ini lebih dikenal dengan teori kedekatan (teori propinquity). Teori ini menyatakan bahwa kedekatan individu dengan individu lain karena ada kedekatan ruang, jarak, dan daerah (spatial and geografhical proximity). Sementara George Homans mengatakan bahwa terjadinya kelompok akibat interaksi dan sentimen (perasaan dan emosi). Sedangkan Theodore Newcomb mengungkap pembentukan kelompok berdasarkan teori keseimbangan yang menjelaskan bahwa individu tertarik individu lain atas kesamaan nilai dan sikap terhadap suatu tujuan yang relevan bagi mereka seperti agama, politik, gaya hidup, perkawinan, pekerjaan, dan otoritas. Sedangkan teori pertukaran (exchange theory) mengatakan pembentukan kelompok atas dasar motivasi dan fungsi. Dan ada juga teori kelompok yang didasari oleh alasan praktis. Artinya kelompok terbentuk berdasarkan profesi, keamanan, dan sosial.
Menurut Reitz, kelompok dapat diidentifikasi berdasarkan karakternya, yaitu:
1. adanya dua atau lebih individu
2. berinteraksi satu dengan yang lain
3. saling membagi beberapa tujuan yang sama
4. melihat individu sebagai kelompok
Walaupun banyak penggolongan kelompok berdasarkan teori, namun pada dasarnya kelompok dibedakan atas:
 Kelompok primer, yaitu kelompok yang dibangun dengan keakraban, kerja sama, tatap muka interpersonal, persamaan beberapa pengertian, dan cita-cita individu.
 Kelompok formal, adalah kelompok yang sengaja dibentuk dalam menjalankan tugas tertentu.
 Kelompok nonformal, adalah kelompok yang berinteraksi terhadap daya tarik dan kebutuhan individu.
 Kelompok terbuka, adalah kelompok yang memiliki daya tanggap terhadap perubahan dan pembaruan.
 Kelompok tertutup, adalah kelompok yang kolot atau mapan dengan mempertahankan tradisinya.
 Kelompok referensi, adalah kelompok yang selalu mencari umpan balik tentang anggota kelompoknya.
Dalam dunia pendidikan pengelompokan berdasarkan kelompok general dan spesifik. Dan pengelompokan dalam pendidikan harus bersifat formal/nonformal, terbuka, dan referensi. Hal ini dikarenakan: Kehidupan itu komplek. Kehidupan itu memiliki brebagai sektor kehidupan. setiap individu memiliki kemampuan, minat, dan bakat yang dapat dikelompokkan guna menunjang efektifitas pendidikan. setiap individu memiliki tingkat kemampuan intelektual, dan kognitif yang dapat dikelompokkan terutama bidang pengetahuan umum sehingga proses pendidikan dapat lebih efisien. Keterampilan bersifat spesifik dan terpisah, sehingga akan terbentuk kelompok elit sesuai dengan dejis keterampilannya. program pendidikan sangat terbatas kemampuannya untuk melayani setiap kebutuhan individu.
Pengelompokan Anak Didik untuk Keperluan Penyelenggaraan Pembelajaran
Ada pertimbangan dalam pengelompokan anak didik untuk keperluan penyelenggaraan pengajaran berdasarkan teori perbedaan perilaku individu yang dikembangkan oleh Spearman, Guilford, dan Thurnstone. Individu dikelompokkan berdasarkan: Kesebayaan usia. Tujuannya untuk menghindari konflik terhadap perbedaan
pertumbuhan psikomotorik, psikologis, dan kognitif. Kesamaan ilmu dasar yang diminati, untuk menghindari konflik antardisiplin ilmu yang diminati oleh individu.
Kesamaan keterampilan praktis, untuk mengarahkan pada keterampilan yang diinginkan.
Kesamaan keterampilan psikomotorik, untuk individu yang lebih mengandalkan keterampilan gerak dan reflek tubuh. Kesamaan profesi, sehingga akan memperkuat individu dalam mendalami profesi yang dipilihnya. Kesamaan cacat fisik, (baik cacat mental, maupun cacat fisik) untuk memberi peluang agar mereka tidak terhambat dalam memperoleh pendidikan.
Analisis Kekurangan dan Keuntungan Penyelenggaraan Pendidikan yang Segregatif, dan integratif. Pendidikan segregatif atau terpisah-pisah atau terbagi-bagi merupakan sistem pendidikan yang menciptakan kompetensi dan unggulan-unggulan yang memberi keleluasaan kepada individu untuk bersaing, memilih, atau melakukan upaya pencapaian prestasi sesuai dengan kemampuan, minat, bakat, dan kondisi fisik masing-masing.
Pendidikan segregatif bersifat inklusif, menguntungkan peserta didik yang memiliki bakat serta keunggulan (gifted and talented), termasuk anak yang memiliki ketunaan tau cacat, dan yang mengalami kesulitan belajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar