Jumat, 15 April 2011

ppt pendidikan integratif, inklusif dan segregativ

Makalah

OLEH  
ABDUL S.E
 
“Situasi  Pendidikan Di Indonesia Saat Ini”


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.



BAB II
BAHASAN
A.    ASPEK  PERUNDANG – UNDANGAN
Setidaknya ada dua Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang pernah dimiliki Indonesia yaitu Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya lebih di kenal dengan nama UUSPN. Dan yang kedua Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisten Pendidikan Nasional yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama UU SISDIKNAS, sebelum adanya kedua Undang-undang yang mengatur tentang system pendidikan nasional, Indonesia hanya memiliki Undang-undang tentang pokok-pokok pengajaran dan pendidikan yaitu Undang-undang Nomor 4 tahun 1950.
Adanya perubahan UUSPN No.2 tahun 1989 menjadai UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 dimaksudkan agar system pendidikan nasional kita bisa menjadi jauh lebih baik dibanding dengan system pendidikan sebelumnya. Hal ini seperti yang dikemukan oleh seorang pengamat hokum dan pendidikan, Frans Hendrawinata beliau mengatakan bahwa dengan adanya undang-undang sistem pendidikan nasional yang baru, maka diharapkan undang-undang tersebut dapat menjadi pedoman bagi kita untuk memiliki suatu sistem pendidikan nasional yang mantap, yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan masyarakat akan sumber daya manusia yang berkualitas. Apalagi mengingat semakin dekatnya era keterbukaan pasar. Hal tersebut sesungguhnya harus menjadi kekhawatiran bagi kita semua mengingat kualitas sumber daya manusia di Indonesia berada di bawah negara-negara lain termasuk negara-negara tetangga di Asean. Oleh sebab itulah diperlukan suatu platform berupa sistem pendidikan nasional yang dapat menciptakan sumber daya manusia yang mampu bersaing dengan dunia internasional khususnya dalam era keterbukaan pasar saat ini.
Saat kedua undang-undang tersebut baik UUSPN No 2 tahun 1989 maupun UU SISDIKNAS  Nomor 20 tahun 2003 masih berupa Rencana undang-undang terjadi berbagai kontroversi, misalnya saat UUSPN nomor 2 tahun 1989 akan diundangkan banyak sekali protes dari kalangan muslim yang menghendaki adanya perubahan-perubahan pada pasal tertentu yang dipandang tidak mencerminkan pendidikan yang mengarah pada pembentukan Ahlaq dan budi pekerti bahkan tokoh-tokoh Islam Bogor seperti K.H. Sholeh Iskandar dan KH. TB Hasan Basri menyebut RUU tersebut sebagai RUU yang tidak bermoral. Mengapa demikian karena pada UU tersebut tidak terdapat pasal khusus yang mengatur pendidikan agama. Pengaturan itu ada pada penjelasan Pasal 28 Ayat 2 yang menyatakan, “Tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan dan agama peserta didik yang bersangkutan”. Padahal dalam UU sebelumnya yaitu Dalam pasal 20 UU No 4/1950 dinyatakan, 1) Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut; 2) Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama
Di sisi lain RUU SPN No. 2 tahun 1989 justru memberikan warna baru untuk lembaga pendidikan Islam dimana dengan diberlakukannya UUSPN No 2 tahun 1989 madrasah-madrash mendapat perlakuan yang sama dengan sekolah umum lainnya karena dalam UUSPN tersebut madrasah dianggap sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan kurikulum madrasah sama persis dengan sekolah umum plus pelajaran agama Islam sebanyak tujuh mata pelajaran. Secara operasional, integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional ini dikuatkan dengan PP No. 28 tahun 1990 dan SK MenDepartemen Pendidikan Nasional No. 0487/U/ 1992 dan No. 054/U/ 1993 yang antara lain menetapkan bahwa MI/MTs wajib memberikan bahan kajian sekurang kurangnya sama dengan “SD/SMP”. Surat-surat Keputusan ini ditindak lanjuti dengan SK Menteri Agama No. 368 dan 369 tahun 1993 tentang penyelenggaraan MI dan MTs. Sementara tentang Madrasah Aliyah (MA) diperkuat dengan PP Nomor 29 tahun 1990, SK MenDepartemen Pendidikan Nasional Nomor 0489/U/ 1992 (MA sebagai SMA berciri khas agama Islam) dan SK Menag Nomor 370 tahun 1993. Pengakuan ini mengakibatkan tidak ada perbedaan lagi antara MI/MTs/MA dan SD/SMP/SMA selain ciri khas agama Islamnya)
Sementara saat akan diundangkannya RUU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 terjadi juga kontroversi dimana RUU ini dianggap oleh  Kelompok tertentu sebagai RUU yang  sangat tidak pluralis. Yang dianggap paling kontroversial adalah Pasal 13 ayat 1a yang berbunyi: “Setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.
Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa visi dan misi pendidikan nasional sangat terfokus pada nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia. Konsep itu mengesampingkan tugas mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan nasional dipersempit secara substansial. Padahal tugas untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan adalah tugas lembaga keagamaan dan masyarakat, bukan lembaga pendidikan.
Mereka yang menentang umumnya datang dari kalangan lembaga-lembaga pendidikan swasta non-Islam, sedangkan yang mendukung adalah dari kelompok penyelenggara pendidikan Islam. Hal yang ditentang adalah yang menyangkut keharusan sekolah-sekolah swasta menyediakan guru agama yang seagama dengan peserta didik. Pasal ini menimbulkan konsekuensi biaya terhadap lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan baik Kristen maupun Islam. Karena mereka harus merekrut guru-guru agama sesuai dengan keragaman agama anak didiknya.
Pasal ini sangat adil. Sebab, sekolah-sekolah non-Islam dan Islam dikenai kewajiban yang sama. Sekolah-sekolah Islam menyediakan guru agama dari non-Islam, sebaliknya sekolah-sekolah non-Islam menyediakan guru-guru agama Islam. Hanya realitasnya adalah banyaknya anak-anak dari keluarga Islam yang bersekolah di sekolah non-Islam. Sementara itu anak-anak dari keluarga non-Islam sedikit sekali – untuk tidak menyatakan tidak ada – yang bersekolah di lembaga-lembaga pendidikan yang berwatak Islam.
Konsekuensinya, beban anggaran sekolah-sekolah non-Islam untuk menyediakan guru-guru agama Islam lebih besar daripada anggaran sekolah-sekolah swasta Islam untuk menggaji guru-guru agama lain. Padahal UU itu cukup adil. Masalah itu bisa terjawab manakala pemerintah menyediakan dan menanggung gaji guru-guru agama itu. Atau beban itu diserahkan sepenuhnya ke orang tua anak didik, bukan lembaga pendidikan. Jika ini tidak diatasi, akan menimbulkan bahaya besar. Sekolah-sekolah swasta baik Islam maupun non-Islam karena keterbatasan anggaran lalu membatasi jumlah anak didik yang berbeda agama.
Departemen Agama (Depag) sudah mengantisipasi dengan menyediakan tenaga guru-guru agama bila RUU Sisdiknas ini disahkan. Jadi, sebetulnya tidak masalah dan mengkhawatirkan soal tenaga guru untuk memenuhi tenaga pengajar di sekolah-sekolah non-Islam.
Lain halnya jika dalam memaknai dan memahami pasal 13 RUU Sisdiknas, semula kalangan dari penyelenggara negara sampai lembaga-lembaga pendidikan keagamaan masih terjebak pada kecurigaan-kecurigaan isu agama seperti adanya islamisasi dan seterusnya yang semestinya sudah lama dihilangkan.
Jika kita lihat perjalanan diberlakukannya kedua undang-undang tersebut tidaklah ada yang berjalan mulus kedua-duanya mengandung kontoversi dan pada akhirnya dibalik semua kontroversi yang ada pada tanggal 8 Juli 2003 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan Nasional disyahkan oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri.
Banyak sekali keuntungan yang dirasakan oleh ummat Islam dengan diberlakukannya UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 ini, diantaranya :
  1. Tujuan Pendidikan Nasional sangat memberikan peluang untuk merealisasikan  nilai-nilai Al Quran yang menjadi tujuan pendidikan Islam yaitu terbentuknya manusia yang beriman dan bertaqwa (pasal 3).
  2. Anak-anak Muslim yang sekolah di lembaga pendidikan Non Islam akan terhindar dari pemurtadan, karena anak-anak tersebut akan mempelajari mata pelajaran agama sesuai dengan yang dianut oleh siswa tersebut dan diajarkan oleh guru yang seagama dengan dia (Pasal 12 ayat 1a)
  3. Madrasah-madrasah dari semua jenjang terintegrasi dalam system pendidikan nasional secara penuh (Pasal 17 dan 18)
  4. Pendidikan keagaamaan seperti Madrasah diniyah dan pesantren mendapat perhatian khusus pemerintah, karena pendidikan keagamaan tidak hanya diselenggarakan oleh kelompok masyarakat tetapi juga diselenggarakan oleh pemerintah (Pasal 30).
  5. Pendidikan Agama diajarkan mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi (Pasal 37).

B.     ASPEK  KEBIJAKAN

Kebijakan – kebijakan  pendidikan  di Indonesia berpijak pada legalitas  hukum yang diatur  secara hirarki   dari yang tertinggi  sampai  yang paling rendah. Berdasarkan logika  yuridis  kebijakan mengenai kebijakan pendidikan  yang ada dewasa ini  pada saatnya  sudah dibuat sedemikian rupa  sehingga  selaras  dengan logika  hukum tersebut.
            Adapun Peraturan – peraturan yang mengatur kebijakan pendidikan diantaranya :
1.      Kedudukan Pancasila dan UUD 45 sebagai landasan  idil dan konsitusional  dari sistem  pendidikan  di indonesia.
2.      Pokok – pokok kebijakan  bidang  pendidikan  yang tertera dalam GBHN.
3.      UU No. 2 tahun  1989 tentang   Sistem Pendidikan Nasional.
4.      Kebijakan desentralisasi pendidikan ( UU No. 22 tahun 1999)
5.      Propernas  2001 – 2005  di bidang pendidikan



C.     ASPEK PENILAIAN

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen  (Depdiknas, 2005) dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia ( Permendiknas) Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan
(Depdiknas, 2007) telah ditetapkan. Pada dasarnya, penetapan UU dan Permendiknas tersebut adalah untuk menunjang pencapaian visi pendidikan nasional. Visi pendidikan
nasional yang sudah disepakati adalah untuk mewujudkan suatu sistem pendidikansebagai pranata sosial yang kuat  dan berwibawa dalam memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampudan proaktif menjawab tantangan zaman yang akan selalu berubah. Lalu, pertanyaanpaling tepat yang dapat diajukan saat ini adalah: “Apakah dengan adanya UU Nomor 14Tahun 2005 dan Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 maka upaya untukmemberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia
yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selaluberubah akan semakin mendekati kenyataan?” Artikel yang merupakan pendapat salahseorang praktisi pendidikan matematika ini akan membahas dua hal yang berkait
dengan penilaian di bidang pendidikan di Indonesia, yaitu tentang  lemahnyapelaksanaan prinsip objektif pada penilaian pendidikan, dalam arti telah terjadi ketidakcocokanantara peraturan yang ada dengan pelaksanaannya di kelas dan lapangan.

C.1.Tujuan dan kegunaan penilaian pendidikan
                        Tujuan dan kegunaan penilaian pendidikan termasuk perencanaan, pengelolaan, proses dan tindak lanjut pendidikan baik yang menyangkut perorangan, kelompok maupun kelembagaan. Menurut Thorndike dan Hagen (1977) tujuan dan kegunaan penilaian pendidikan dapat diarahkan kepada keputusan-keputusan yang menyangkut (1) pengajaran (2) hasil belajar (3) Diagnosis dan usaha perbaikan (4) penempatan (5) seleksi (6) bimbingan dan konseling, (7) kurikulum, dan (8) penilaian kelembagaan.

1. Keputusan dalam Bidang Pengajaran
Salah satu peranan penting usaha pengukuran dan penilaian ialah untuk mengarahkan pengambilan keputusan yang berkenaan dengar, apa yang harus dipelajari atau apa yang harus dipelajari dan dipraktekkan oleh para mahasiswa secara perorangan, kelompok-kelompok kecil, ataupun keseluruhan kelas. Untuk keperluan ini maka pengukuran dan penilaian harus mampu mengindentifikasikan kompetensi-kompetensi mana yang sudah ada dan belum ada pada mahasiswa, yang selanjutnya dipakai sebagai dasar untuk menetapkan isi pengajaran yang berikutnya

2.  Keputusan Tentang Hasil Belajar
Tenaga pengajar mempunyai tanggung jawab untuk menyampaikan hasil belajar yang dicapai oleh mahasiswa yang telah belajar itu, dan bahkan jika
diperlukan juga perlu memberikan laporan kepada orang tua atau wali mahasiswa tentang hasil belajar mahasiswa itu. Pemberitahuan dan laporan hasil belajar ini diinginkan meliputi aspek-aspek yang luas antara lain pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang cukup mewakili tujuan-tujuan pengajaran atau perkuliahan yang diprogramkan oleh perguruan tinggi.

3. Keputusan dalam Rangka Diagnosis
Tes diagnotik diselenggarakan untuk mengetahui dalam bidang mana mahasiswa telah atau belum mengusai kompetensi tertentu, atau dengan kata lain, tes diagnostik berusaha mengungkapkan kekuatan atau kelemahan dalam bidang yang diujikan.

4. Keputusan Berkenaan dengan Penempatan
Pengajaran ataupun pelayanan yang diberikan kepada mahasiswa tersebut tidak diberikan secara sama rata kepada semua mahasiswa. Mahasiswa yang satu barangkali memerlukan pengajaran ataupun pelayanan yang lebih banyak dari pada mahasiswa yang lain. Keperluan mahasiswa tidak sama ini sering mendorong pengajar untuk mengadakan pengelompokkan setara (homogeneous prouping). Kelompok-kelompok setara yang masing-masing memiliki taraf kemampuan yang berbeda-beda itu kemudian diberi pengajaran yang sesuai dengan taraf kemampuan masing-masing kelompok.

5. Keputusan Berkenaan dengan Seleksi
Seleksi biasanya dihubungkan dengan jumlah tempat yang tersedia dalam kaitannya dengan jumlah calon yang mendaftarkan untuk mengisi tempat itu, sedangkan secara ideal seleksi dihubungkan dengan mutu lulusan yang diambil biasanya didasarkan atas batas lulus.

6. Keputusan Berkenaan dengan Pelayanan Bimbingan dan Konseling
Sasaran pelayanan bimbingan dan konseling ialah agar mampu mengenali dan menerima diri sendiri, serta atas dasar pengenalan dan penerimaan diri ini mahasiswa mampu mengambil keputusan untuk diri sendiri, mengarahkan dan mewujudkan diri sendiri sesuai dengan bakat, kemampuan dan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada dirinya sendiri dan lingkungannya.

7. Keputusan Berkenaan dengan Kurikulum
Program pendidikan yang komprehensif dan luwes (fleksibel) isi kurikulum dan rancangan pengajaran-pengajaran beserta berbagai sarana penunjangnya tidaklah tunggal, melainkan tersedia beberpa (atau bahkan berbagai) kemungkinan, perubahan dalam penekanan isi kurikulum, dalam prosedur dan sarana pengajran dimungkinkan.

8. Keputusan Berkenaan dengan Penelitian Kelembagaan
Ada lembaga pendidikan yang menyebabkan siswa-siswinya telah banyak yang putus sekolah atau yang baru menamatkan siswa-siswa itu menjalani masa belajar jauh melampaui batas masa belajar yang normal. Ada lagi lembaga pendidikan yang hanya mampu menghasilkan para lulusan yang (dilihat dari hasil belajar mereka) berprestasi sekitar rata–rata saja. Hal ini semua dapat diketahui penelaahan hasil pengukuran dan pendidikan.

8.1 Pengaturan pengukuran dan penilaian
Pengukuran ialah suatu usaha untuk mengetahui keadaan sesuatu sebagaimana adanya. Pengukuran dapat berupa pengumpulan data tentang sesuatu. Misalnya, usaha untuk mengetahui dalamnya sebuah sumur disebut pengukuran kedalaman sumur itu. Demikian juga usaha mengetahui banyaknya kata kerja yang dikuasai oleh anak dan sebagainya.
Hasil pengukuran dapat berupa angka uraian tentang kenyataan yang menggambarkan derajat kualitas, kuantitas dan eksistensi keadaan yang diukur itu. Namun demikian, hasil pengukuran itu sendiri belum dapat mengatakan apa- apa kalau hasil tersebut tidak ditafsirkan dengan jalan membandingkan dengan suatu patokan atau kriteria. Apakah artinya dalam sumur 2 meter. Setelah dibandingkan, ternyata sumur itu amat dangkal mengingat pada umumnya sumur – sumur dikampung saya dalamnya 5 – 6 meter.
Untuk dapat melakukan pengukuran diperlukan alat dan prosedur. Dalam bidang pendidikan usaha pengukuran biasanya melalui penyelenggaraan tes atau ujian. Alat – alat lain seperti daftar cek, skala ukuran, dan lain – lain, dapat juga dipakai untuk mengukur aspek – aspek yang sukar dengan mempergunakan tes atau ujian, ddan usaha penilaian ini dapat dilakukan dengan mempergunakan patokan – patokan pembanding yang berbeda – beda.

8. 2  Pendekatan dalam Penilaian
Pendekatan penilaian yang membandingkan hasil pengukuran seseorang dengan hasil pengukuran yang diperoleh orang – orang lain dalam kelompoknya, dinamakan Penilaian Acuan Norma (Norm – Refeereced Evaluation). Dan pendekatan penilaian yang menbanding hasil pengukuran seseorang dengan patokan “batas lulus” yang telah ditetapkan, dinamakan penilaian Acuan Patokan (Criterian – refenced Evaluation).

            8.2.1. Penilaian Acuan Norma (PAN)
PAN ialah penilaian yang membandingkan hasil belajar mahasiswa terhadap hasil dalam kelompoknya. Pendekatan penilaian ini dapat dikatakan sebagai pendekatan “apa adanya” dalam arti, bahwa patokan pembanding semat–mata diambil dari kenyataan–kenyataan yang diperoleh pada saat pengukuran/penilaian itu berlangsung, yaitu hasil belajar mahasiswa yang diukur itu beserta pengolahannya, penilaian ataupun patokan yang terletak diluar hasil–hasil pengukuran kelompok manusia.
PAN pada dasarnya mempergunakan kurve normal dan hasil–hasil perhitungannya sebagai dasar penilaiannya. Kurve ini dibentuk dengan mengikut sertakan semua angka hasil pengukuran yang diperoleh. Dua kenyataan yang ada didalam “kurve Normal”yang dipakai untuk membandingkan atau menafsirkan angka yang diperoleh masing – masing mahasiswa ialah angka rata- rata (mean) dan angka simpanan baku (standard deviation), patokan ini bersifat relatif dapat bergeser ke atas atau kebawah sesuai dengan besarnya dua kenyataan yang diperoleh didalam kurve itu. Dengan kata ain, patokan itu dapat berubah–ubah dari “kurve normal” yang satu ke “kurve normal” yang lain. Jika hasil ujian mahasiswa dalam satu kelompok pada umumnya lebih baik dan menghasilkan angka rata-rata yang lebih tinggi, maka patokan menjadi bergeser ke atas (dinaikkan). Sebaliknya jika hasil ujian kelompok itu pada umumnya merosot, patokannya bergeser kebawah (diturunkan). Dengan demikian, angka yang sama pada dua kurve yang berbeda akan mempunyai arti berbeda. Demikian juga, nilai yang sama dihasilkan melalui bangunan dua kurve yang berbeda akan mempunyai arti berbeda. Demikian juga, nilai yang sama dihasilkan melalui bangunan dua kurve yang berbeda akan mempunyai arti umum yang berbeda pula.

            8.2.2. Penilaian Acuan Patokan (PAP)
PAP pada dasarnya berarti penilain yang membandingkan hasil belajar mahasiswa terhadap suatu patokan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pengertian ini menunjukkan bahwa sebelum usaha penilaian dilakukan terlebih dahulu harus ditetapkan patokan yang akan dipakai untuk membandingkan angka-angka hasil pengukuran agar hasil itu mempunyai
arti tertentu. Dengan demikian patokan ini tidak dicari-cari di tempat lain dan pula tidak dicari di dalam sekelompok hasil pengukuran sebagaimana dilakukan pada PAN.
Patokan yang telah disepakati terlebih dahulu itu biasanya disebut “Tingkat Penguasaan Minimum”. Mahasiswa yang dapat mencapai atau bahkan melampai batas ini dinilai “lulus” dan belum mencapainya nilai “tidak lulus” mereka yang lulus ini diperkenankan menempuh pelajar yang lebih tinggi, sedangkan yang belum lulus diminta memantapkan lagi kegiatan belajarnya sehingga mencapai “batas lulus” itu.
Patokan yang dipakai untuk kelompok mahasiswa yang mana sama ini pengertian yang sama. Dengan patokan yang sama ini pengertian yang sama untuk hasil pengukuran yang diperoleh dari waktu ke waktu oleh kelompok yang sama ataupun berbeda-beda dapat dipertahankan.
Yang menjadi hambatan dalam penggunaan PAP adalah sukarnya menetapkan patokan yang benar-benar tuntas.

            8.2.3. Penggunaan PAN dan PAP
            Pendekatan PAN dapat dipakai untuk semua matakuliah, dari matakuliah yang paling teoritis (penuh dengan materi kognitif) sampai ke matakuliah yang praktis (penuh dengan materi ketrampilan). Angka-angka hasil pengukuran yang menyatakan penguasaan kompetensi-kompetensi kognitif, ketrampilan, dan bahkan sikap yang dimiliki atau dicapai oleh sekelompok mahasiswa sebagai hasil dari suatu pengajaran, dapat di kurvekan. Dalam pelaksanaannya dapat ditempuh prosedur yang sederhana. Setelah pengajaran diselenggarakan, kelompok mahasiswa yang menerima pengajaran tersebut menjawab soal-soal atau melaksanakan tugas-tugas tertentu yang dimaksudkan sebagai ujian. Hasil ujian ini diperiksa dan angka tersebut disusun dalam bentuk kurve. Kurve dan segala hasil perhitungan yang menyertai (terutama angka rata-rata dan simpangan bakul) dapat segera dipakai dalam PAN.

            Pendekatan PAP tidak berorientasi pada “apa adanya” pendektan ini tidak semata-mata mempergunakan angka rata-rata yang dihasilkan oleh kelompok yang diuji, melainkan telah terlebih dahulu menetapkan kriteria keberhasilan, yaitu “batas lulus” penguasaan bahan pelajaran, dan dalam proses pengajaran. Tenaga pengajar tidak begitu saja membiarkan mahasiswa menjalani sendiri proses belajarnya, melainkan terus menerus secara langsung ataupun tidak langsung merangsang dan memeriksa kemajuan belajar mahasiswa serta membantunya melewati tahap-tahap secara berhasil. Proses pengajaran yang menjadi kegiatan PAP dikenal adanya ujian pembinaan (formative test) dan ujian akhir (summative test). Ujian pembinaan dilaksanakan pada tahap tersebut. Usaha ini akan mencegah mahasiswa dari keadaan terlanjur tidak menguasai dengan baik bahan kompetensi dari tahap yang satu ke tahap berikutnya seperti dituntut oleh TKP. Hasil ujian pembinaan ini dipakai sebagai petunjuk (indikator) apakah mahasiswa tertentu memerlukan bantuan dalam menjalankan proses belajarnya atau tidak.
            Ujian akhir dilaksanakan pada akhir proses pengajaran. Ujian ini meliputi semua bahan yang diajarkan dalam keseluruhan proses pengajaran dengan tujuan menguji apakah mahasiswa telah menguasai seluruh bahan yang diajarkan itu dengan baik. Ujian akhir ini didasarkan sepenuhnya pada TKP.
            Jika ujian pembinaan benar-benar diselenggarakan dan hasil-hasilnya dipakai untuk membantu mahasiswa yang memerlukan, maka PAP menekankan bukan hanya pada segi mutu hasil belajar mahasiswa tetapi juga pada segi mutu hasil belajar mahasiswa tetapi juga pada segi banyaknya mahasiswa yang berhasil. Sebanyak mungkin mahasiswa dirangsang dan dibantu untuk mencapai penguasaan kompetensi yang tinggi.

C.2.  Implikasi pendekatan Penilaian yang Dipakai
Pendekatan penilaian yang dipakai menimbulkan berbagai implikasi:
1. Program pengajaran dan penilaian dalam pendekatan kompetensi menuntut pelaksanaan pengajaran yang terencana, terarah, dinamis dan membimbing.
2. Pengajar perlu memiliki kemantapan keterampilan dalam menyusun program pengajaran dan sekaligus program penilaiannya yang berorientasikan pada kompetensi.
3.  Baik pengajar maupun mahasiswa memerlukan sumber-sumber dan sarana belajar-mengajar yang cukup.
4.  Dalam program penilaian terbuka mahasiswa perlu mengetahui program penilaian, kriteria keberhasilan dan hasil-hasil penilaian.
5.  Kegiatan mengajar tidak semata-mata dimuka kelas, sesuai dengan ketentuan sistem kredit semester, kegiatan kuliah dengan harga 1 sks mencakup beban pengajaran untuk penyelenggaraaan tiga jenis kegiatan setiap Minggu yaitu:
60 menit untuk pengembangan bahan pelajaran.
50 menit untuk kegiatan tatap muka dengan mahasiswa.
60 menit untuk usaha penilaian dan kegiatan perencanaan lanjutan.
           Dalam 60 menit terakhir itu pengajar dituntut untuk menyediakan diri bagi pertemuan dengan mahasiswa baik secara perseorangan maupun dalam kelompok, untuk membahas hal-hal khusus berkenaan dengan kemajuan dan masalah-masalah pelajaran yang dihadapi.

6. Mahasiswa dituntut untuk belajar secara dinamis.
7. Program penilaian yang terarah dan terencana menuntut sistem palporan yang lengkap dan rapi, baik untuk keperluan mahasiswa sendiri dan keperluan pengajar, maupun untuk keperluan fakultas dan perguruan tinggi.
8. Pengajar memerlukan berbagai sarana administrasi untuk penyusunan dan pelaksanaan program pengajaran dan penilaian.
9. Program pengajaran dan penilaian perlu dicatat dan hasil-hasilnya disimpan secara baik.
10.Karena program pengajaran dan penilaian ini bersifat menyeluruh dan relatif menuntut lebih banyak waktu dan keterlibatan pengajar, perlu dipikirkan variasi jenis matakuliah yang dipegang oleh setiap tenaga pengajar beserta konsekuensinya.

C.3. Jenis Alat Pengukur
Jenis alat pengukur yang banyak digunakan yaitu alat pengukur yang berbentuk ujian uraian (essay type test), ujian objektif (objektive type test), daftar cek (chek list), dan skala ukuran (rating scale).
           





D.    STANDARISASINYA
D.1. STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN
1.        STANDAR ISI
Pasal 5
(1). Standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu .
(2). Standar isi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum,beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender pen didikan/akademik.



Pasal 9
(1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan untuk setiap program studi.
(2) Kurikulum tingkat satu an pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah pendidikan  agama, pendidikan ke warganegaraan, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris.
(3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kurikulum tingkat satuan pendidikan tinggi program Sarjana dan Diploma wajib memuat mata kuliah yang bermuatan kepribadian, kebudayaan, serta mata kuliah Statistika, dan/atau Matematika.
(4) Kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kedalaman muatan kuriku lum pendidikan tinggi diatur oleh perguruan tinggi masing-masing.

Pasal 15
(1) Beban SKS minimal dan maksimal program pendidikan  pada pendidikan tinggi dirumuskan oleh BSNP dan dite tapkan dengan Peraturan Menteri.
(2) Beban SKS efektif program pendidikan pada pendidikan  tinggi diatur oleh masing-masing perguru an tinggi.
 (3) Kurikulum tingkat satu an pendidikan untuk setiap program studi di perguruan tinggi dikembangkan dan ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi dengan mengacu Standar Nasional Pendidikan.


Pasal 19
(1) Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
(2) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam proses pembelajaran pendidik memberikan keteladanan.
(3) Setiap satuan pendidikan melakukan perencan aan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembe lajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan e fisien.



Pasal 20
Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembe lajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar.

Pasal 21
(1) Pelaksanaan proses pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) harus memperhatikan jumlah maksimal peserta didik per kelas dan beban mengajar maksimal per pendidik, rasio maksimal buku teks pelajaran setiap peserta didik, dan rasio maksimal jumlah peserta didik setiap pendidik.
(2) Pelaksanaan proses pembelajaran dilakukan dengan mengembangkan budaya membaca dan menulis.

Pasal 23
Pengawasan proses pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) meliputi pemantauan,supervisi, evaluasi, pelaporan, dan pengambilan langkah tindak lanjut yang diperlukan.



Pasal 24
Standar perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian  hasil pembe lajaran dan pengawasan proses pembelajaran dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

2.    STANDAR KOMPETENSI LULUSAN
Pasal 25
(1)  Standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan pesertadidik dari satuan pendidikan.
(2) Standar kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputikompetensi untuk seluruhmata pelajaran atau kelompok mata pelajaran dan mata kuliah atau kelo   pok mata kuliah dan mata kuliah atau kelompok mata kuliah.
(3) Kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) mencakup sikap, pengetahuan, dan  ke terampilan.



Pasal 26
(1) Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan tinggi bertujuan untu k mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berakh lak mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta menerapkan ilmu, teknologi, dan seni, yang bermanfaat bagi kemanusiaan.

Pasal 27
(2) Standar kompetensi lulusan pendidikan tinggi ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi.

3.    STÁNDAR PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
Pendidik
Pasal 31
(1) Pendidik pada pendidikan tinggi memiliki kualifikasi pendidikan minimum:
a.   lulusan diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) u ntuk program diploma;
b.  lulusan  program magister (S2) untuk program sarjana (S1); dan
c.  lulusan program doktor (S3) untuk program magister (S2) dan program doktor (S3).

(2) Selain kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) butir a, pendidik pada programvokasi harus memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan tingkat dan bidang keahlian yang diajarkan yang dihasilkan oleh perguruan tinggi.
(3) Selain kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) butir b, pendidik pada program profesi harus memiliki sertifikat kompetensi setelah sarjana sesuai dengan tingkat dan bidang keahlian yang diajarkan yang dihasilkan oleh perguruan tinggi.

Tenaga Kependidikan
Pasal 36
(1) Tenaga Kependidikan pada pendidikan tinggi harus memiliki kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sesuai dengan bidang tugasnya.
(2) Kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh BSNP dan dite tapkan dengan Peraturan Menteri.


Pasal 36
(1) Tenaga Kependidikan pada pendidikan tinggi harus memiliki kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sesuai dengan bidang tugasnya.
(2) Kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh BSNP dan dite tapkan dengan Peraturan Menteri.

4   .STANDAR SARANA DAN PRASARANA
Pasal 42
(1) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perl engkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
(2) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpu stakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain , tempat berkreasi, dan  ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjangproses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
Pasal 43
(1) Standar jumlah peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam rasio minimal jumlah peralatan pe r peserta didik.
(2) Standar bu ku perpustakaan dinyatakan dalam jumlah judul dan je nis buku di perpustakaan satuan   pendidikan.
(3) Standar sumber belajar lainnya untuk setiap satuan pendidikan dinyatakan dalam                                                 rasio jumlah sumberbe lajar te rhadap peserta didik sesuai dengan jenis sumber belajar dan karakteristik satuan  pendidikan.

Pasal 44
(1) Lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) untuk bangunan satuan pendidikan, lahan praktek, lahan untuk prasarana penunjang, dan lahan pertamanan untuk menjadikan satuan pendidikan suatu lingkungan yang secara ekologis nyaman dan seh at.
(2) Standar lahan  satuan pendidikan dinyatakan dalam rasio luas lahan per peserta didik.
(3) Standar letak lahan satuan pendidikan mempertimbangkan letak lahan satuan pendidikan di dalam klaster satuan pe ndidikan sejenis dan sejenjang, serta letak lahan  satuan pendidikan di dalam klaster  satuan pendidikan yang menjadi pengumpan masukan peserta didik.

(4)  Standar letak lahan satuan pendidikan mempertimbangkan jarak tempuh maksimal yang harus dilalui oleh peserta didik untuk menjangkau satuan pendidikan tersebut.
(5)  Standar letak lahan satuan pendidikan mempertimbangkan keamanan, kenyamanan, dan kesehatan   lingkungan.

Pasal 45
(1)  Standar rasio luas ruang kelas per peserta didik dirumuskan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(2)  Standar rasio luas bangunan per peserta didik dirumuskan ole h BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(4)  Standar kualitas bangunan minimal pada satuan pendidikan tinggi adalah kelas A.
(5)  Pada daerah rawan gempa bumi atau tanahnya labil, bangunan satuan pe ndidikan h arus memenu hi ke tentuan standar bangunan tahan gempa.
(6) Standar kualitas bangunan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), (4) dan (5) mengacu pada ke tetapan menteri yang menangan i urusan pemerintahan di bidang pe kerjaan umum.

Pasal 46
(1) Satuan pendidikan yang memiliki peserta didik, pendidik, dan/atau te naga kependidikan yang memerlukan layanan khusus wajib menyediakan akses ke sarana dan prasarana yang se suai dengan ke butuhan mereka.
(2) Kriteria penyediaan akses sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pasal 47
(1)  Pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan sebagaiman a dimaksud dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 46 menjadi tanggung jawab satuan pendidikan yang bersangkutan.
(2)  Pemeliharaan sebagaimana dimaksu d pada ayat (1) dilakukan secara berkala dan berkesinambungan dengan memperhatikan masa pakai.
(3)  Pengaturan tentang masa pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pasal 48
Standar sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 sampai 47 dikembangkan oleh BSNP dan dite tapkan dengan Peraturan Menteri.

5.STANDAR PENGELOLAAN
Standar Pengelolaan Oleh Satuan Pendidikan
Pasal 49 (2) Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi menerapkan otonomi perguruan tinggi yang dalam batas-batas yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku memberikan ke bebasan dan mendorong kemandirian dalam pengelolaan akademik, operasional, personalia, keuangan, dan area fungsional kepengelolaan lainnya yang diatur oleh masing-masing perguruan tinggi.

Pasal 52
(1) Setiap satuan pendidikan harus memiliki pedoman yang mengatur tentang:
            a. Kurikulum tingkat satuan pen didikan dan silabus;
            b. Kalen der pendidikan/akademik, yang menunjukkan seluruh kategori aktivitas        satuan pendidikan selama satu tahun dan dirinci secara semesteran, bulanan,              dan mingguan;
c. Struktur organisasi satuan pendidikan;
d. Pembagian tugas di antara pendidik;
e. Pembagian tugas di antara tenaga ke pendidikan;
f. Peraturan akademik;
g. Tata tertib satuan pendidikan, yang minimal meliputi tata tertib pendidik,               tenaga kependidikan dan peserta didik, serta penggunaan dan pemeliharaan               sarana dan prasarana;
h. Kode etik hubungan antara sesama warga di dalam lingkungan satuan                     pendidikan dan hubungan antara warga satuan pendidikan dengan masyarakat;
i. Biaya operasional satuan pendidikan.
(2)  Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pendidikan tinggi diatur oleh masing-masing perguruan tinggi sesuai ketentuan perundang-un dangan yang berlaku.



Pasal 53
(1) Setiap satuan pendidikan dikelola atas dasar rencana kerja tahunan yang merupakan penjabaran rinci  dari rencana kerja jangka menengah satuan pendidikan yang me liputi masa 4 (empat) tahun.
(2) Rencana kerja tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.  kalender pen didikan/akademik yang me liputi jadwal pembelajaran, ulangan,          ujian, kegiatan  ekstrakurikule r, dan hari libur;
b.  jadwal penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk tahun ajaran            berikutnya;
c.  mata pelajaran atau mata kuliah yang ditawarkan pada semester gasal, semester genap, dan semester  pendek bila ada;
d.  penugasan pendidik pada mata pelajaran atau mata kuliah dan kegiatan lainnya;
e.  buku teks pelajaran yang dipakai pada masing-masing mata pelajaran;
f.  jadwal penggunaan  dan pemeliharaan sarana dan prasarana pembelajaran ;
g.  pengadaan, penggunaan, dan persediaan minimal bahan habis pakai;
h.  program peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan yang meliputi sekurang-kurangnya jen is, durasi, peserta, dan  penyelenggara program;
j.  jadwal rapat Dewan Dosen dan rapat Senat Akademik untuk jenjang pendidikan tinggi;   karencana anggaran pendapatan dan belanja satuan pendidikan untuk masa kerja satu tahun;
k. jadwal penyusunan laporan akuntabilitas dan kinerja satuan pendidikan untuk satu tahun  terakhir.

Pasal 54
(1)  Pengelolaan satuan pendidikan dilaksanakan secara mandiri, efisien, efektif, dan akuntabel.
(2) Pelaksanaan pengelolaan satuan pendidikan untuk jenjang pendidikan tinggi yang tidak sesuai dengan rencan a kerja tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 harus mendapat persetuju an dari lembaga berwenang sebagaimana diatur oleh masing-masing perguruan tinggi sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pelaksanaan pengelolaan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dipertanggungjawabkan oleh ke pala satuan pendidikan kepada lembaga berwenan g sebagaimana diatur oleh masing-masing perguruan tinggi sesuai keten tuan  perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 55
Pengawasan satuan pendidikan meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tin dak lanjut hasil pengawasan.


Pasal 57
Supervisi yang melipu ti supervisi manajerial dan akademik dilakukan secara teratur dan berkesinambungan oleh pengawas atau penilik satuan pendidikan dan kepala satuan pen didikan.

Pasal 58
(1) Pelaporan dilaku kan oleh pendidik, tenaga kepen didikan, pimpinan satuan pendidikan, dan pengawas atau penilik satuan pendidikan.
(2) Untu k jenjang pendidikan tinggi, laporan oleh kepala satuan pendidikan se bagaimana dimaksu d pada ayat (1) ditujukan kepada Menteri, berisi hasil evaluasi dan dilakukan sekurang-kurangnya setiap akhir semester.
(3) Setiap pihak yang menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) wajib menindak lanju ti laporan tersebut untuk meningkatkan mutu satuan pendidikan, termasuk memberikan sanksi atas pelanggaran yang ditemukannya.

Pasal 61
(1)   Menteri menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi  untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.

6. STANDAR PEMBIAYAAN
Pasal 62
(1) Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal.
(2) Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap.
(3) Biaya personal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya pe ndidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengiku ti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.
(4). Biaya operasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
            a. gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat            pada gaji,
            b. bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan
            c. biaya operasi pen didikan tak langsu ng berupa daya, air, jasa tele komunikasi,        pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi,       pajak, asuransi, dan lain sebagainya.
(5) Standar biaya operasi satuan pendidikan ditetapkan dengan Peraturan  Menteri berdasarkan usulan BSNP.
7. STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN
Pasal 63
(1)  Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi terdiri atas:
       a. penilaian hasil belajar oleh pendidik; dan
       b. penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan tinggi.
(2)  Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada     ayat (2) diatur oleh  masing-masing perguruan tin ggi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku

E.     PEMBIYAYAANNYA
          Pembiayaan pendidikan menjadi masalah yang sangat penting dalam keseluruhan pembangunan sistem pendidikan. Uang memang tidak segala-galanya dalam menentukan kualitas pendidikan, tetapi segala kegiatan pendidikan memerlukan uang. Oleh karena itu jika performance sistem pendidikan diperbaiki, manajemenpenganggarannya juga tidak mungkin dibiarkan, mengingat bahwa anggaran mestimendukung kegiatan. Tidak semua masyarakat Indonesia sepenuhnya menyadari bahwa biaya pendidikan yang cukup akan dapat mengatasi berbagai masalah pendidikan, meskipun tidak semua masalah akan dapat dipecahkan secara tuntas (Sutjipto, 2004).
          Biaya pendidikan bukanlah sesuatu yang baru akan tetapi masih merupakan hal yang
sangat menarik untuk diperbincangkan, terutama pada tahun pelajaran baru. Biaya pendidikan merupakan salah satu komponen masukan instrumental yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan (di sekolah). Dalam setiap upaya pencapaian tujuan pendidikan—baik tujuan-tujuan yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif—biaya pendidikan memiliki peranan yang sangat menentukan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa hampir tidak ada upaya pendidikan yang dapat mengabaikan peranan biaya, sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa biaya, proses pendidikan (di sekolah) tidak akan berjalan (Supriadi, 2006:3).
          Istilah biaya pendidikan sering kali dipadankan dengan pengeluaran pada pendidikan. Biaya pendidikan dalam cakupan ini memiliki pengertian yang luas, yaitu semua jenis pengeluaran yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidik-an, baik dalam bentuk uang maupun barang dan tenaga (yang dinyatakan dengan satuan moneter) (Supriadi, 2006:3). Biaya mengacu ke total biaya kesempatan suatu projek (sumber daya sebenarnya digunakan) yang digunakan untuk perencanaan jangka panjang. Pengeluaran  menunjukkan pada pembelian barang dan jasa, bangunan sekolah, perlengkapan dan lainnya. Pengeluaran valid untuk analisis alokasi. Seperti
biaya pribadi yaitu biaya yang dikorbankan oleh murid atau keluarganya, yang berupa biaya langsung (fee, dikurangi rata-rata nilai biasiswa jika menggunakan dana pemerintah, buku-buku, dsb.) dan biaya tidak langsung (penghasilan yang hilang) (Latchanna dan Hussein, 2007:51—52). Sebagaimana dikatakan Woodhall (2004: 29) pengeluaran uang hanya berarti karena pengeluaran menggambarkan pembelian tenaga pengajar, bangunan sekolah dan peralatan atau barang-barang dan jasa-jasa lainnya yang memiliki alternatif penggunaan.
          Konsep biaya pendidikan ini dapat dibedakan dengan cara mengelompokkan biaya yang terjadi, yaitu (1) social and private cost, (2) opportunity cost and money cost,and (3) explicit and implicit costs (Latchanna dan Hussein, 2007: 52—56). Pendapat ahli lain menyatakan bahwa dalam pendidikan dikenal beberapa kategori biayapendidikan yaitu (1) biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirectcost), (2) biaya pribadi (private cost) dan biaya sosial (social cost), dan (3) biaya dalam bentuk uang (monetary cost) dan bukan uang (non-menetary cost) (Anwar,1991; Gaffar, 1991; Thomas, 1972). Dalam kenyataannya, pengkategorian biaya pendidikan tersebut dapat “bertumpang tindih”; misalnya ada biaya pribadi dan sosial yang bersifat langsung dan tidak langsung serta berupa uang dan bukan uang,dan ada juga biaya langsung dan tidak langsung serta biaya pribadi dan biaya sosialyang dalam bentuk uang maupun bukan uang (Supriadi, 2006).
          Pengeluaran sekolah berkaitan dengan pembayaran keuangan sekolah untuk pembelian berbagai macam sumberdaya atau masukkan (input) proses sekolah seperti tenaga administrasi, guru-guru, bahan-bahan, perlengkapan-perlengkapan dan fasilitas. Biaya menggambarkan nilai seluruh sumberdaya yang digunakan dalam proses sekolah apakah terdapat dalam anggaran sekolah dan pengeluaran atau tidak.
          Biaya yang bersumber dari sekolah termasuk nilai setiap input yang digunakan,meskipun sekolah memberikan sumbangan atau tidak terlihat secara akurat dalam perhitungan pengeluaran (Levin and Hans, 1987:426).
Pembahasan di atas menunjukkan bahwa dalam upaya perbaikan mutu pendidikanpada tingkat satuan pendidikan (sekolah) atau mutu pendidikan pada umumnya,pemahaman yang serius terhadap berbagai aspek pembiayaan pendidikan sangatdiutamakan. Pemahaman terhadap berbagai aspek pendidikan sangatlah pentingdiperhatikan untuk dapat mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan. Pemahamanberbagai aspek pendidikan tersebut tidak dapat dilakukan hanya pada tingkat satuanpendidikan atau tingkat mikro akan tetapi harus bersifat nasional (makro).Pemahamandimaksud merentang dari hal-hal yang sifatnya mikro (satuanpendidikan) hingga yang makro (nasional), antara lain meliputi sumber-sumber pembiayaan pendidikan, sistem dan mekanisme pengalokasiannya, efektivitas danefisiensi dalam penggunaannya, dan akuntabilitas hasilnya yang diukur dariperubahan-perubahan kuantitatif dan kualitatif yang terjadi pada semua tataran,khususnya tingkat sekolah (Supriadi, 2006: 7). Paradigma umum pembiayaan pendidikan menekankan pada penyelesaian biayarendah untuk meningkatkan efisiensi internal dan efisiensi eksternal sistem pendidikan pada jenjang sekolah yang berbeda.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.

          Berbagai kepututusan pendidikan  agar merupakan  keputusan  yang bijaksana haruslah didasarkan  atas informasi  yang lengkap  dan tepat  mengenai hal yang diputuskan  itu. Pengukuran dan  Penilaian Pendidikan  berusaha mendapatkan  informasi  yang lengkap dan tepat  yang diperlukan untuk pembuatna – pembuatan  keputusan pendidikan

          Hasil belajar, yang datanya diperoleh melalui pengukuran dan penilaian  pendidikan merupakan informasi yang sangat berguna sebagai umpan balik bagi pelaksanaan pengajaran dan strategis proses belajar-mengajar.
          Kebaikan dalam ujian uraian ialah, mahasiswa mengorganisasi sendiri.Sedangkan kelemahannya, ujian terbatas kepada sejumlah kecil                                                pertanyaan saja dan penilaian bersifat subyektif .
          Kebaikan dalam ujian obyektif ialah, mudah disusun dan mencakup bahan yang luas, sedangkan kelemahannya siteruji menjawab dengan menerka.
           Suatu ujian untuk mata kuliah tertentu dikatakan valid jika ia benar-benarcocok dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan untuk dicapai dengan penyajian matakuliah tersebut.
          Suatu alat pengukurnya reliabel, pengukuran yang dilakukan berulang-ulang dengan memakai alat yang sama terhadap obyek dan subyek yang sama hasilnya akan tetap atau relatif sama.

















DAFTAR PUSTAKA

Anwar, I. 1991. Biaya Pendidikan dan Metode Penetapan Biaya Pendidikan.
Mimbar Pendidikan, No. 1 Tahun X, 1991: 28—33.
Fattah, N. 2002. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Penerbit
Rosdakarya.
Gaffar, M. F. 1991. Konsep dan Filosofi Biaya Pendidikan Pendidikan. Mimbar Pendidikan, Nomor 1 Tahun X, 1991: 56—60.
Gaffar, Mohammad Fakry. 2004. Membangun Kembali Pendidikan Nasional dengan Fokus: Pembaharuan Manajemen Perguruan Tinggi pada Era Globalisasi. Disampaikan pada Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia V, di Surabaya, 5—9 Oktober 2004.
http://zag.7p.com/globalisasi_pendidikan.htm, diakses tanggal 14 Juni 2010.
Latchanna, G., dan Hussein, J. O. 2007. Economics of Education. New Delhi: Discovery Publishing House.
Supriyadi, D. 2006. Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah. Rujukan bagi Penetapan Kebijakan Pembiayaan Pendidikan Pada Era Otonomi dan Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sutjipto, 2004. Pembiayaan Pendidikan di Indonesia: Masalah dan Tantangannya. Makalah disajikan dalam Musyawarah Nasional Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), Hotel Bela Kutai Balikpapan, Kalimantan Timur, 21—23 Mei.